Ketika Sejarah Ditulis oleh Para Pemenang: Membaca Kembali Pemikiran Ibnu Khaldun

Ilustrasi sebuah tangan memegang pena tinta sedang menulis kata “SEJARAH” di halaman buku tua berwarna keemasan, dengan suasana cahaya hangat dan nuansa klasik yang menggambarkan proses penulisan dan refleksi sejarah.

Sejarah yang Dibelokkan

Dalam perjalanan panjang bangsa, sejarah sering kali menjadi medan perebutan makna. Tidak sedikit kisah yang ditulis dengan tinta kekuasaan, sementara suara kebenaran dibungkam oleh kepentingan. 

Kita hidup di zaman di mana narasi sejarah kerap dijadikan alat legitimasi — bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk meneguhkan kekuasaan.

Ungkapan “sejarah ditulis oleh para pemenang” bukan sekadar peribahasa sinis, melainkan realitas yang terus berulang. Banyak peristiwa penting dalam sejarah Indonesia — dari pergulatan ideologi, konflik sosial, hingga perubahan politik — kerap disajikan dengan versi yang setengah benar.

Dalam konteks ini, pemikiran Ibnu Khaldun hadir seperti cahaya dari masa lalu yang menyorot wajah zaman modern: ia menuntut agar sejarah dipahami bukan hanya sebagai catatan, tetapi sebagai ilmu yang memiliki hukum, sebab, dan hikmah.

Tulisan ini merupakan upaya kecil untuk membaca kembali gagasan besar Ibnu Khaldun dalam menyingkap hakikat sejarah, sekaligus menjadikannya cermin bagi bangsa yang masih bergulat dengan bayang-bayang masa lalunya.

Ibnu Khaldun dan Revolusi Cara Pandang terhadap Sejarah

Ibnu Khaldun (1332–1406 M) bukan sekadar seorang sejarawan. Ia adalah peletak dasar ilmu sosiologi dan filsafat sejarah, yang mampu melihat hubungan antara masyarakat, politik, ekonomi, dan budaya dalam satu sistem yang utuh. 

Dalam karyanya yang monumental, al-Muqaddimah, ia memperkenalkan pendekatan baru yang rasional dan empiris dalam membaca sejarah manusia.

Ilustrasi bergaya klasik menampilkan seorang ulama berpakaian jubah dan sorban sedang menulis dengan pena bulu di atas buku tebal di meja kayu, dikelilingi tumpukan kitab dan sebuah globe, dengan tulisan besar di sampingnya bertuliskan “Ibnu Khaldun dan Revolusi Cara Pandang terhadap Sejarah.” Gambar ini menggambarkan sosok cendekiawan yang merevolusi pemikiran sejarah melalui analisis ilmiah dan reflektif.
Ilustrasi sosok Ibnu Khaldun yang dikenal sebagai bapak sosiologi dunia sebagai bapak sosiologi dunia

Menurutnya, sejarah tidak boleh dipandang hanya sebagai rangkaian peristiwa, tetapi harus dianalisis melalui sebab dan akibat (asbāb wa musabbabāt). Ia menulis:

“Kesalahan dalam sejarah muncul ketika penulisnya tidak memahami hakikat masyarakat, sebab-sebab peristiwa, dan hukum-hukum sosial yang mengaturnya.” (al-Muqaddimah, bab I)

Dengan pandangan ini, Ibnu Khaldun membebaskan sejarah dari mitos dan fanatisme. Ia menolak kisah yang dilebih-lebihkan dan menentang narasi yang dibentuk oleh kepentingan penguasa. Bagi Ibnu Khaldun, sejarah adalah cermin masyarakat, bukan bayangan kekuasaan.

Hukum-Hukum Sosial dan Siklus Kekuasaan

Salah satu gagasan penting Ibnu Khaldun adalah konsep ‘ashabiyyah — semangat solidaritas kelompok yang menjadi pendorong utama kebangkitan suatu peradaban. Namun, ia juga mengingatkan bahwa setiap kekuasaan memiliki masa naik dan masa jatuh. 

Dalam al-Muqaddimah, ia menggambarkan siklus politik sebagai hukum alam sosial: dari munculnya kelompok kuat yang menegakkan keadilan, hingga melemahnya moralitas dan akhirnya keruntuhan.

Konsep ini sangat relevan bila kita cerminkan pada realitas politik Indonesia. Sejarah mencatat, setiap rezim datang dengan janji pembaruan, namun sering kali terjebak dalam pola yang sama: kekuasaan yang semula membawa harapan, lambat laun berubah menjadi alat mempertahankan kepentingan.

Dalam konteks ini, pemikiran Ibnu Khaldun seakan memperingatkan bahwa sejarah tidak pernah berhenti di masa lalu. Ia terus berulang — hanya pelakunya yang berganti. Sebagaimana firman Allah:

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

"Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia..." (QS. Ali ‘Imrān [3]: 140)

Ayat ini menegaskan hukum sosial yang diamati Ibnu Khaldun: kekuasaan tidak abadi, dan keadilan adalah penentu umur suatu peradaban.

Sejarah yang Ditutupi dan Tanggung Jawab Intelektual

Ibnu Khaldun menolak keras penulisan sejarah yang hanya menjadi corong kepentingan. Ia menulis bahwa banyak sejarawan terjebak pada taqlid (ikut-ikutan) dan fanatisme. Mereka menyalin tanpa menimbang, menulis tanpa meneliti.

 المؤرخ كالقاضي لا كاتب، عليه أن يحكم بالعقل لا بالأه

“Sejarawan harus bersikap seperti hakim, bukan juru tulis. Ia harus menilai dengan akal, bukan dengan perasaan.” (al-Muqaddimah)

Pandangan ini menjadi kritik tajam terhadap kondisi zaman kita. Sejarah di negeri ini masih sering menjadi alat politik. Ada peristiwa yang dibungkam, tokoh yang dihapus, dan luka kolektif yang disamarkan demi menjaga citra. 

Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan pengetahuan yang sepotong, tanpa keberanian untuk bertanya: “Benarkah demikian adanya?”

Lukisan bergaya dramatis menampilkan seorang pria sedang menulis di atas meja dengan wajah serius dan tangan menyangga dagu, dikelilingi kertas-kertas yang terbakar. Di belakangnya tampak bayangan tangan besar seolah ingin mengendalikan dirinya. Di sisi kanan terdapat tulisan, “Sejarawan sejati menulis dengan akal, bukan dengan kepentingan.” Gambar ini melambangkan perjuangan intelektual melawan pengaruh dan tekanan kekuasaan dalam penulisan sejarah.
Sejarawan Sejati Menulis dengan Akal

Padahal Islam sendiri menuntut kejujuran dalam menyampaikan berita:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti..." (QS. al-Ḥujurāt [49]: 6)

Ayat ini bukan hanya pedoman etika sosial, tetapi juga dasar metodologi sejarah. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa setiap peristiwa harus diuji dengan akal dan bukti. Sejarah yang jujur adalah sejarah yang berani menyingkap, bukan menutupi.

Baca Juga:

Membaca Sejarah dengan Akal dan Iman

Ibnu Khaldun memandang akal (‘aql) dan wahyu (naql) sebagai dua sumber yang saling melengkapi. Dalam menulis sejarah, seorang ilmuwan harus berpijak pada realitas empiris, tetapi tetap sadar akan nilai moral dan spiritual. Ia bukan hanya pencatat fakta, tetapi juga penuntun jiwa.

Sejarah yang benar, kata Ibnu Khaldun, bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang hikmah yang dapat dipetik oleh manusia setelahnya. Ia menulis:

“Sejarah adalah berita tentang masyarakat manusia, tentang peradaban, dan tentang bagaimana Tuhan menakdirkan perubahan di dalamnya.”

Dengan cara pandang ini, sejarah menjadi guru kehidupan — bukan sekadar arsip masa lalu. Ia mengajarkan bahwa setiap kezhaliman akan berakhir, setiap keadilan akan berbuah, dan setiap bangsa yang mengabaikan nilai-nilai moral akan menghadapi kehancuran.

Latar Belakang Sosial dan Kritik terhadap Kekuasaan

Ibnu Khaldun sendiri hidup di masa penuh intrik politik. Ia pernah menjadi pejabat, diplomat, bahkan tawanan. 

Ia mengalami jatuh bangun dalam kekuasaan, hingga akhirnya menarik diri ke benteng Qal‘at Bani Salamah di Aljazair, di sanalah ia menulis al-Muqaddimah.

Baca: Biografi Ibnu Khaldun: Sang Bapak Sosiologi Dunia

Pengalamannya mengajarkannya satu hal: politik tanpa moral adalah sumber kehancuran. Ia melihat bagaimana kekuasaan yang berlandaskan keserakahan akan menindas rakyat dan menumbuhkan kebohongan sejarah.

Ilustrasi siluet seorang cendekiawan berjanggut dengan sorban, berdiri dalam cahaya keemasan yang lembut. Di depannya terdapat pena bulu yang tertancap tegak di atas meja, memantulkan sinar hangat. Di sisi kanan tertulis kalimat “Mewarisi Kejujuran Ilmiah Ibnu Khaldun.” Gambar ini melambangkan semangat intelektual dan integritas ilmiah yang diwariskan oleh Ibnu Khaldun dalam tradisi keilmuan Islam.
Mewarisi Kejujuran Ilmiah Ibnu Khaldun

Jika kita pandang kondisi zaman kini — di mana kebenaran sering dikaburkan oleh narasi media, dan sejarah dipelintir demi kepentingan — maka pemikiran Ibnu Khaldun terasa seperti nasihat yang menohok. Ia mengingatkan bahwa masyarakat yang kehilangan objektivitas sejarah akan kehilangan arah masa depan.

Sebagaimana firman Allah:

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ

“Maka ambillah pelajaran (ibrah), wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. al-Ḥasyr [59]: 2)

Ayat ini menjadi inti dari seluruh pemikiran Ibnu Khaldun: bahwa sejarah adalah cermin diri, dan hanya mereka yang berfikir yang mampu melihat bayangannya dengan jernih.

Mewarisi Kejujuran Ilmiah Ibnu Khaldun

Mengingat sosok Ibnu Khaldun bukan sekadar mengenang seorang ilmuwan besar, tetapi menghidupkan kembali semangat kejujuran ilmiah dan keberanian berpikir kritis. 

Dalam masyarakat yang masih terbelah oleh narasi sejarah, kita membutuhkan lebih banyak “Ibnu Khaldun baru” — orang-orang yang berani berpikir jernih di tengah kabut kepentingan.

Sejarah memang bisa ditulis oleh para pemenang, tetapi kebenaran selalu milik mereka yang jujur. Sebab pada akhirnya, sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun:

"Kekuasaan dan kebohongan mungkin bertahan seabad, tetapi kebenaran memiliki umur yang lebih panjang dari peradaban.”

Semoga kita belajar dari Ibnu Khaldun, bukan hanya untuk mengenal masa lalu, tetapi untuk menuntun masa depan.


* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.

Posting Komentar

1 Komentar

Senja mengatakan…
Keren banget tulisan