Aqsām al-Ḥujjah dari Segi Metode: Menyelami Qiyās, Tamthīl, dan Istiqrā’ dalam Logika Islam

Ilustrasi digital lanskap bergaya modern menampilkan siluet otak manusia dengan pola geometri bercahaya, dihiasi lafadz Arab 'المنطق' (al-Manṭiq) di tengahnya, melambangkan ilmu logika dalam tradisi intelektual Islam.
Ilmu al-Manṭiq: Simbol Rasionalitas dalam Tradisi Islam

Ilmu manṭiq (logika) adalah perangkat penting dalam tradisi intelektual Islam klasik. Ia berfungsi sebagai mīzān al-‘aql—timbangan akal—yang menolong manusia berpikir lurus, membedakan antara argumen yang sahih dan yang rusak. Salah satu tema pokok dalam manṭiq adalah tentang al-ḥujjah (argumen).

Secara sederhana, hujjah adalah setiap ucapan atau susunan proposisi yang dengannya dapat dihasilkan suatu keyakinan, baik berupa pengetahuan yang pasti (yaqīnī) maupun dugaan yang kuat (zannī). Namun, hujjah dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut pandang.

Pembagian Besar Hujjah

Para ahli manṭiq membagi hujjah ke dalam dua kategori utama:

  1. Ḥujjah Naqliyyahyaitu hujjah yang bersandar kepada otoritas naql, seperti nash Al-Qur’an, hadits, ijmā‘, atau perkataan ulama. Hujjah ini berlaku kuat dalam ilmu syar‘i karena otoritasnya tidak berasal dari akal semata, melainkan dari otoritas wahyu dan sanad.
  2. Ḥujjah ‘Aqliyyah – yaitu hujjah yang bersandar pada nalar dan logika, tanpa bergantung kepada otoritas naql. Inilah fokus utama ilmu manṭiq, sebab ia menata jalan akal dalam menghasilkan kesimpulan yang benar.
Skema Hujjah yang dibagikan secara umum kedalam dua pembagian: aqliyyah dan naqliyyah
Skema pembagian hujjah secara umum


Hujjah ‘Aqliyyah: Dua Sudut Pandang Klasifikasi

Hujjah ‘aqliyyah kemudian dapat dikaji dari dua arah:

1. Dari sisi metode penyusunan argumen

Hujjah terbagi menjadi tiga:

  • Qiyās (silogisme deduktif): menyusun dua premis untuk menghasilkan kesimpulan.
  • Tamthīl (analogi): menetapkan hukum pada kasus baru karena adanya kesamaan dengan kasus asal.
  • Istiqrā’ (induksi): menyusun kesimpulan umum berdasarkan pengamatan banyak hal partikular.

Pembahasan ini berfokus pada bentuk teknis dan struktur penyusunan argumen.

2. Dari sisi kekuatan dan tujuan argumen

Hujjah terbagi menjadi lima:

  • Burhān: argumen demonstratif yang menghasilkan keyakinan pasti.
  • Jadal: argumen debat yang hasilnya hanya dugaan kuat.
  • Khiṭābah: argumen retoris untuk mempengaruhi massa.
  • Shi‘r: argumen puitis yang lebih bersifat imajinatif.
  • Mughalathah (Safsaṭah): argumen sesat yang menipu akal.

Diagram skema hujjah ‘aqliyyah yang terbagi menjadi dua cabang utama: metode penyusunan (qiyās, tamthīl, istiqrā’) dan kekuatan argumen (burhān, jadal, khiṭābah, shi‘r, mughalathah).
Skema Pembagian Hujjah ‘Aqliyyah dalam Ilmu Manṭiq

Pembahasan ini menekankan kualitas hasil dan tujuan dari suatu hujjah, apakah menuju kepastian, dugaan, persuasi, atau justru kesesatan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa hujjah dalam manṭiq tidaklah tunggal bentuknya. Ia dapat dilihat dari dua kacamata: dari segi cara penyusunan argumen maupun dari segi kekuatan hasil yang ditimbulkan.

Dalam tulisan ini, kita akan terlebih dahulu membahas hujjah dari sisi metode penyusunannya, yakni tiga bentuk pokok: qiyās, tamthīl, dan istiqrā’. Ketiga jenis ini akan menyingkap bagaimana akal menyusun premis-premis hingga sampai pada suatu kesimpulan, baik melalui jalan deduksi, analogi, maupun induksi.

1. Qiyās (قياس) – Silogisme

Qiyās adalah jenis hujjah yang paling sistematis dan dianggap paling tinggi dalam logika klasik. Dalam literatur manṭiq, bentuk qiyās ini juga dikenal dengan istilah qiyās al-manṭiqī (قياس المنطقي), yakni silogisme formal yang menjadi pilar utama metode berpikir deduktif.

Definisi:

تركيب قضايا يُكتسَب من طريقها قضية أُخرى

"Merangkai beberapa proposisi sehingga darinya dapat diperoleh proposisi lain. "

Struktur qiyās biasanya berbentuk dua premis (muqaddimah) yang menghasilkan satu kesimpulan (natījah).

Contoh klasik:

Setiap manusia pasti mati.

Socrates adalah manusia.

Maka, Socrates pasti mati.

Keistimewaan qiyās:

  1. Jika premis-premisnya pasti (yaqīnī), maka hasilnya juga pasti.
  2. Menjadi dasar ilmu-ilmu demonstratif seperti filsafat, matematika, dan logika formal.
  3. Melatih pola pikir deduktif yang sistematis.

Namun, bila premisnya hanya bersifat dugaan, maka hasil qiyās juga hanya berupa dugaan. Oleh karena itu, kualitas qiyās bergantung pada kualitas muqaddimahnya.

Dalam kehidupan modern, qiyās hadir dalam penalaran hukum, silogisme ilmiah, hingga logika pemrograman komputer. Semua menggunakan pola dasar: premis → premis → kesimpulan.

2. Tamthīl (تمثيل) – Analogi

Tamthīl adalah hujjah dengan cara membandingkan dua hal yang memiliki kesamaan dalam aspek tertentu. Metode ini lebih sederhana daripada qiyās dan lebih dekat dengan cara berpikir masyarakat awam.

Definisi:

إلحاقُ فرعٍ بأصلٍ لاشتراكِهما في علّةٍ واحدة

"Mengaitkan cabang dengan asal karena keduanya memiliki kesamaan dalam satu sebab/‘illah."

Contoh dalam fiqh:

Khamr diharamkan karena memabukkan.

Narkotika juga memabukkan.

Maka, narkotika dihukumi haram.

Karakteristik tamthīl:

  1. Menghasilkan keyakinan zannī (dugaan kuat).
  2. Sangat praktis dan mudah dipahami masyarakat umum.
  3. Menjadi metode penting dalam qiyās fiqhī untuk menetapkan hukum terhadap masalah baru yang tidak ada nashnya.

Namun, kelemahan tamthīl adalah kesamaan yang dijadikan dasar bisa terbatas, sehingga tidak selalu relevan pada semua aspek. Karena itu, tamthīl tidak mencapai tingkat kepastian sebagaimana qiyās.

Dalam kehidupan modern, tamthīl sering dipakai dalam pendidikan, hukum, retorika, dan komunikasi sosial. Misalnya guru berkata: “Otak manusia itu ibarat otot, jika dilatih akan semakin kuat.”

3. Istiqrā’ (استقراء) – Induksi

Istiqrā’ adalah hujjah dengan cara menyusun kesimpulan umum berdasarkan pengamatan terhadap banyak contoh partikular.

Definisi:

الانتقال من الجزئيات إلى كُلِّيَّة

"Berpindah dari hal-hal parsial menuju kesimpulan universal. "

Contoh:

Besi memuai ketika dipanaskan.

Emas memuai ketika dipanaskan.

Perak memuai ketika dipanaskan.


Maka, setiap logam memuai ketika dipanaskan.

Macam istiqrā’:

Diagram pembagian istiqra kepada istiqra taam dan naqis
Skema Pembagian Istiqra'


1. Istiqrā’ tāmm (induksi sempurna): mencakup seluruh individu, hasilnya pasti.

Misalnya: 

“Semua huruf hijaiyah berjumlah 28.” 

Karena sudah diteliti satu per satu.

2. Istiqrā’ nāqiṣ (induksi parsial): hanya berdasarkan sebagian contoh, hasilnya zannī.

Misalnya: 

“Setiap logam memuai jika dipanaskan.” 

Kesimpulan ini benar sejauh yang diamati, tapi bisa ada pengecualian yang belum ditemukan.

Dalam tradisi klasik, istiqrā’ dianggap lebih lemah dibanding qiyās. Tetapi dalam sains modern, justru induksi menjadi metode utama untuk merumuskan hukum-hukum alam. Eksperimen ilmiah adalah bentuk istiqrā’ nāqiṣ yang diperkuat dengan ulangan, observasi, dan teori.

Baca Juga:

Bolehkah Beramal dengan Hadis Dhaif?

Perbedaan Harakat pada Nun dalam Tasniyah dan Jamak

Isu-Isu Terkini yang Mempengaruhi Komunitas Muslim Global di Tahu 2025

Perbandingan Ketiga Metode

Qiyās → berbasis deduksi; menghasilkan kepastian bila premis-premisnya pasti.

Tamthīl → berbasis analogi; lebih sederhana tapi hanya menghasilkan dugaan kuat.

Istiqrā’ → berbasis induksi; bisa menghasilkan kepastian bila sempurna, tapi sering kali hanya bersifat parsial.

Dengan kata lain, qiyās adalah jalan “turun” dari universal ke partikular, istiqrā’ adalah jalan “naik” dari partikular ke universal, sedangkan tamthīl adalah jalan “menyamping” dari satu partikular ke partikular lain yang serupa.

Relevansi dalam Kehidupan Kontemporer

  • Qiyās menjadi dasar pola pikir ilmiah deduktif, logika matematika, hukum, dan bahkan algoritma komputer.
  • Tamthīl digunakan dalam pendidikan, dakwah, pidato, dan hukum fiqh untuk menjelaskan hal baru dengan perbandingan yang familiar.
  • Istiqrā’ menjadi fondasi metode ilmiah modern, riset laboratorium, hingga survei sosial.

Dengan memahami ketiganya, seorang pelajar manṭiq bisa mengenali perbedaan cara kerja akal dalam menghasilkan pengetahuan, serta mengukur kualitas kesimpulan yang lahir dari tiap metode.


Namun, perlu diingat bahwa klasifikasi ini bukanlah satu-satunya cara pandang terhadap hujjah. Para ahli manṭiq juga membahas hujjah dari segi kekuatan hasil dan tujuan penggunaannya, yang melahirkan lima bentuk utama: burhān, jadal, khiṭābah, shi‘r, dan mughalathah.

Pembahasan tentang lima jenis hujjah ini insyaAllah akan kita ulas secara khusus dalam tulisan berikutnya, sehingga gambaran kita tentang struktur dan kualitas argumen dalam ilmu manṭiq menjadi lebih utuh.

* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.

Posting Komentar

0 Komentar