Aqsām al-Ḥujjah dari Segi Kekuatan: Burhān, Jadal, Khithābah, Syi‘r, dan Mughālaṭah dalam Tradisi Logika Islam

Gambar ilustrasi realistik kepala manusia dengan otak terlihat jelas di dalamnya, berlatar warna kuning kuno bergaya klasik. Melambangkan pemikiran rasional, ilmu mantiq, dan kekuatan logika dalam tradisi keilmuan Islam.

Dalam tradisi ilmu manṭiq (logika) Islam klasik, pembahasan tentang al-ḥujjah (الحجة) menempati posisi sentral. 

Ia adalah inti dari proses berpikir: alat untuk membuktikan, membantah, dan menegakkan kebenaran. Namun, tidak semua hujjah memiliki derajat yang sama. 

Ada hujjah yang menghasilkan keyakinan pasti (yaqīn), ada pula yang hanya melahirkan dugaan (zann), bahkan sebagian hanyalah tipuan logika (mughalathah).

Jika pada artikel sebelumnya kita membahas aqsām al-ḥujjah dari sisi metode penyusunan (qiyās, tamthīl, istiqrā’), maka dalam tulisan ini kita akan meninjau aqsām al-ḥujjah dari segi kekuatan dan tujuannya — yaitu pembagian klasik yang terkenal menjadi lima:

al-Burhān (البرهان), al-Jadal (الجدل), al-Khiṭābah (الخطابة), asy-Syi‘r (الشعر), dan al-Mughālaṭah (المغالطة).

Gambar skema kreatif yang menampilkan pembagian Aqṣām Hujjah dari aspek kekuatannya dalam ilmu mantiq. Terlihat lima kategori utama yaitu Al-Burhān, Al-Jadal, Al-Khiṭābah, Asy-Syi‘r, dan Al-Mughālaṭah, tersusun dengan desain catatan tempel bergaya modern di atas latar coklat kertas daur ulang.
Struktur Aqṣām Hujjah dari Aspek Kekuatan dalam Ilmu Mantiq

Baca Juga:

Bolehkah Beramal dengan Hadis Dhaif?

Perbedaan Harakat pada Nun dalam Tasniyah dan Jamak

Tiga Hal yang Dapat Menghancurkan Islam

Aqsām al-Ḥujjah dari Segi Metode: Menyelami Qiyās, Tamthīl, dan Istiqrā’ dalam Logika Islam

1. Al-Burhān (البرهان): Argumen Demonstratif

Burhān adalah puncak tertinggi dari seluruh bentuk hujjah. Ia adalah argumen yang disusun dari premis-premis yang yaqīniyyah (pasti) dan darinya dihasilkan kesimpulan yang juga pasti. Karena itu, burhān adalah jalan menuju al-‘ilm al-yaqīnī (pengetahuan yang pasti).

Pernyataan ini tercermin dalam nadham Imam al-Akhdhary dalam as-Sullam al-Munawraq:

أَجَلْهَا الْبُرْهَانُ مَا أُلِفَ مِنْ ** مُقَدَّمَاتٍ بِالْيَقِينِ تَقْتَرِنْ

"Yang paling mulia darinya ialah burhān (dalil pasti) ** Yang tersusun dari muqaddimāt (premis-premis) yang bersanding dengan keyakinan."

Begitu pula Isāghūjī merumuskan bahwa:

البرهان ما كان مؤلفاً من مقدمات يقينية ينتج علماً يقينياً

"Burhān adalah hujjah yang tersusun dari premis-premis pasti, yang menghasilkan pengetahuan pasti."

Untuk menjelaskan bagaimana burhān bekerja, lihat contoh berikut:

Setiap yang berubah adalah makhluk.

Alam berubah.

Maka alam adalah makhluk.

1. Premis umum: Setiap yang berubah pasti membutuhkan sebab yang menggerakkannya.

2. Premis partikular (observasi): Alam senantiasa mengalami perubahan — dari siang ke malam, dari hidup menuju mati, dari kecil menjadi besar.

3. Kesimpulan: Oleh karena itu, alam pasti memiliki sebab yang menjadi penggeraknya — yaitu Pencipta.

Dalam susunan hujjah ini terlihat dua sumber premis yang berbeda: premis pertama bersandar pada akal murni (badīhiyyah ‘aqliyyah), karena akal sehat menolak adanya perubahan tanpa penggerak. 

Premis kedua bersandar pada pengamatan empiris, yakni fakta nyata perubahan alam. Karena kedua premis itu bersifat yaqīniyyah — yang satu oleh kekuatan akal, yang lain oleh konsistensi pengalaman — maka kesimpulan yang ditarik pun mencapai derajat yaqīnī: pengetahuan yang tidak mudah digoyahkan keraguan.

Dengan demikian, contoh ini memperlihatkan bagaimana burhān tidak sekadar merangkai proposisi yang tampak logis, melainkan mengantarkan akal kepada kebenaran yang mantap—termasuk keyakinan metafisis tentang keberadaan Pencipta sebagai sebab pertama segala perubahan.

Jenis-Jenis Burhān

Para logikawan membagi burhān ke dalam dua jenis utama:

1. Burhān Limmi (برهان لِمّيّ) — argumen yang mengetahui sesuatu dari sebabnya (li-annah).

Misal: Kita tahu api menyebabkan panas; maka, karena ada api, kita tahu pasti ada panas.

Adapun contoh burhān limmi yang lain adalah seperti yang tersebut di dalam contoh sebelumnya— burhān yang menunjukkan sebab suatu hal. Ia tidak hanya menyatakan “alam ada Pencipta”, tapi juga mengapa harus ada Pencipta.

2. Burhān Inni (برهان إِنّيّ) — argumen yang mengetahui sebab dari akibatnya (bi-annahu).

Misal: Kita melihat asap; dari situ kita menyimpulkan pasti ada api.

Keduanya sama-sama menghasilkan pengetahuan yaqīnī, namun arah penalarannya berbeda. Burhān limmi lebih tinggi derajatnya, karena berpijak langsung pada sebab-sebab yang pasti.

Kegunaan dan Kedudukan Burhān:

  • Dalam teologi: Burhān menjadi dasar argumen eksistensi Tuhan, kenabian, dan hakikat alam semesta.
  • Dalam filsafat: Burhān digunakan untuk membangun sistem berpikir rasional, menolak kontradiksi, dan menyusun teori kausalitas.
  • Dalam ilmu alam: Burhān dipakai untuk menguji hukum-hukum universal berdasarkan sebab-akibat yang pasti.

Keagungan burhān tak hanya diakui dalam disiplin rasional dan empiris, tetapi juga dalam pandangan para ulama sebagai puncak dari seluruh bentuk argumentasi. 

Para ulama menyebut burhān sebagai mahkota hujjah (تاج الحجة) karena ia menghantarkan manusia kepada pengetahuan yang tidak menyisakan keraguan. 

Bahkan dalam al-Qur’an, istilah burhān digunakan untuk menunjuk kepada dalil yang qath‘ī (pasti), seperti firman Allah:

 قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ

“Sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu.” (QS. an-Nisā’: 174)

Ayat ini menjadi simbol bahwa burhān adalah dalil yang bersumber dari kebenaran murni, bukan sekadar keyakinan emosional.

Ciri khas burhān:

  1. Premisnya berasal dari prinsip pertama (badīhiyyāt) atau hasil pengalaman yang pasti.
  2. Tujuannya adalah menemukan kebenaran, bukan memenangkan debat.
  3. Lawan bicaranya adalah orang yang mau mencari kebenaran dengan nalar yang sehat.

Karena itu, burhān tetap menjadi fondasi utama bagi seluruh disiplin rasional (‘ulūm ‘aqliyyah). 

Dalam filsafat Islam, ia digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan, keabadian jiwa, dan prinsip kausalitas. Karena itu, para logikawan menempatkannya pada posisi tertinggi di antara seluruh bentuk hujjah.

2. Al-Jadal (الجدل): Argumen Dialektis

Jika burhān menempuh jalan kepastian, maka jadal berjalan di jalan perdebatan. Kata الجدل berarti “beradu” atau “menyilang”, dan dalam manṭiq berarti argumen yang disusun dari premis-premis yang diterima secara umum (musallamāt) — bukan premis pasti.

Sebagaimana tersebut dalam Syarh Sullam Lil Malawy, jadal adalah:

مؤلف من مقدمات مشهورة

"Tersusun dari premis-premis yang masyhur"

Jadal adalah hujjah yang disusun dari premis-premis yang diterima oleh lawan bicara, bukan dari hal-hal yang pasti secara mutlak.

Contoh: Seorang teolog berdebat dengan lawan sektenya:

Semua yang bahru membutuhkan pencipta.

Alam adalah bahru.

Maka, alam membutuhkan pencipta.

Di sini, premis kedua (alam adalah bahru) mungkin tidak diyakini oleh semua orang, tapi diterima oleh lawan bicara tertentu. Maka hasilnya tidak sampai pada kepastian ilmiah, namun cukup kuat dalam konteks debat.

Kegunaan jadal:

  • Untuk membungkam lawan atau mempertahankan pendapat di hadapan kelompok yang punya pandangan berbeda.
  • Banyak dipakai oleh ulama kalam, fuqahā’, dan ahli debat klasik.
Ilustrasi digital bergaya tradisional yang menampilkan dua ulama sedang berdebat di dalam majelis ilmu, dikelilingi murid yang menyimak dengan penuh perhatian. Suasana menunjukkan adab dan logika ilmiah sesuai dengan prinsip ilmu mantiq, dengan latar perpustakaan dan cahaya lembut yang menambah kesan intelektual.
Perdebatan Ilmiah dalam Majelis: Ilustrasi Prinsip Ilmu Mantiq

Kekuatan jadal:

Lebih lemah dari burhān karena premisnya tidak selalu pasti.

Namun lebih kuat dari khithābah, sebab tetap disusun secara rasional dan argumentatif.

Dengan kata lain, jadal adalah argumen ilmiah dalam konteks debat: ia logis, tapi tidak selalu benar secara hakikat.

Perbandingan dengan Burhān dan Khiṭābah

Burhān: menuntun pada kepastian kebenaran.

Jadal: menekankan kemenangan dalam debat rasional.

Khiṭābah: bertujuan membujuk massa dengan bahasa retoris.

Maka, jadal berada di tengah — rasional tapi tidak mutlak pasti.

3. Al-Khiṭābah (الخطابة): Argumen Retoris

Pengertian dan Dasar

Khiṭābah berarti retorika — seni berbicara yang meyakinkan massa. Dalam istilah manṭiq, ia adalah hujjah yang disusun dari premis-premis maqbūlah (مقبولة), yakni premis yang diterima oleh kebanyakan orang, bukan dari dalil ilmiah atau rasional yang pasti.

Sebagaimana didefinisikan oleh para logikawan:

مؤلف من مقدمات مقبولة

“Tersusun dari premis-premis yang diterima (oleh khalayak umum).”

Dengan kata lain, khiṭābah bukan ditujukan untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah, melainkan untuk menanamkan keyakinan dan menggerakkan hati masyarakat luas melalui persuasi dan bahasa yang menyentuh.

Contoh dan Penjelasan

Seorang orator berkata:

Manusia yang jujur dicintai oleh semua orang.

Engkau adalah manusia yang ingin dicintai dan dihargai.

Maka, jadilah orang yang jujur agar hidupmu bahagia dan dicintai manusia.

Pada contoh ini, premis pertama tidak bersifat ilmiah, tetapi diterima secara sosial dan moral. Premis kedua juga bersifat emosional, menyentuh keinginan manusia untuk dicintai. 

Kesimpulan (natījah) disusun bukan untuk membuktikan secara logis, melainkan untuk mempersuasi dan menggerakkan pendengar agar berbuat baik.

Dengan demikian, hujjah khiṭābah berpijak pada premis-premis maqbūlah (yang diterima secara umum) dan berujung pada kesimpulan yang bersifat ajakan moral atau motivasional, bukan kepastian ilmiah seperti dalam burhān.

Fungsi dan Kegunaan

Khiṭābah digunakan oleh khathīb, da‘i, guru, dan pemimpin untuk mempengaruhi massa. Dalam Islam, ia merupakan alat utama dakwah dan amar ma‘rūf nahi munkar.

Kekuatan utamanya terletak pada kemampuannya menggerakkan hati dan membentuk perilaku, bukan semata-mata menanamkan pengetahuan.

Dalam Al-Qur’an, prinsip khiṭābah tampak dalam perintah Allah kepada para rasul:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (QS. an-Naḥl: 125)

Ayat ini menjadi dasar retorika Islam — bahwa menyentuh hati manusia sering lebih efektif daripada sekadar mengalahkan logika mereka.

Kelebihan dan Kelemahan

Kelebihan: Mampu membangkitkan semangat, menggugah emosi, dan mengubah perilaku masyarakat secara cepat.

Kelemahan: Tidak mencapai kepastian ilmiah karena bergantung pada penerimaan emosional dan sosial, bukan bukti rasional.

Namun demikian, khiṭābah sering lebih efektif dalam ranah sosial dibandingkan burhān, karena sebagian besar manusia tidak mampu memahami argumentasi filosofis yang mendalam.

Klasifikasi Ulama terhadap Khiṭābah

Para ulama membagi khiṭābah menjadi dua bentuk:

1. Dari sisi pembicara (al-khāṭib)

Yaitu orang yang dijadikan panutan — khathīb, pemimpin, atau guru — yang berbicara dengan wibawa dan kejujuran, sehingga kata-katanya berpengaruh pada pendengar.

Ilustrasi digital semi-realistis seorang ulama sedang berpidato di mimbar dengan penuh semangat, mengenakan sorban putih dan jubah cokelat, melambangkan konsep al-Khiṭābah sebagai salah satu bentuk hujjah dalam ilmu manṭiq yang berfokus pada kemampuan persuasi dan penyampaian argumen secara retoris. Latar belakang berwarna kuning hangat menyerupai tekstur kertas klasik.
Al-Khiṭābah: Seni Retorika dalam Ilmu Manṭiq

2. Dari sisi materi (al-muqaddimāt)

Yaitu hujjah yang terdiri dari premis-premis yang bersifat ẓannī (dugaan kuat), bukan pasti. Premis ini diterima karena kebiasaan atau kepercayaan masyarakat, bukan karena pembuktian rasional.

Dengan dua sisi ini, khiṭābah menempati posisi penting antara logika dan moralitas: ia tidak sepenuhnya ilmiah, namun sangat strategis dalam mempengaruhi perilaku sosial.

Relevansi Kontemporer

Dalam konteks modern, khiṭābah meliputi pidato publik, ceramah keagamaan, kampanye moral, hingga komunikasi massa. Ia menjadi sarana membentuk opini publik dan menggerakkan perubahan sosial.

Dalam dakwah Islam, khiṭābah berperan besar sebagai jembatan antara ilmu dan masyarakat — menyampaikan kebenaran dalam bahasa yang bisa dirasakan, bukan sekadar dipikirkan.

Oleh karena itu, para nabi dan ulama tidak hanya ahl al-burhān, tetapi juga ahl al-khiṭābah: mereka mampu menggabungkan logika, emosi, dan nilai-nilai spiritual dalam satu pesan yang menghidupkan hati umat.

4. Asy-Syi‘r (الشعر): Argumen Estetis

Syi‘r berarti puisi. Dalam manṭiq, ia bukan sekadar karya sastra, melainkan bentuk ḥujjah yang menggugah imajinasi dan emosi melalui keindahan kata-kata.

مؤلف من مقدمات تنبسط منها النفس

Syi‘r adalah perkataan yang menimbulkan bayangan (takhyīl) dalam jiwa, yang dapat mendorong seseorang kepada sesuatu atau menjauhkannya darinya.”

Artinya, puisi menghadirkan gambaran yang menyentuh perasaan, bukan yang membuktikan kebenaran secara ilmiah. 

Tujuannya bukan itsbāt al-ḥaqīqah (membuktikan kebenaran), melainkan taḥrīk al-nafs (menggerakkan jiwa). Karena itu, ia membentuk taṣawwur (gambaran) bukan taṣdīq (keyakinan rasional).

Contoh:

“Sungguh, kemuliaan hidup hanyalah bagi yang berani.”

Kalimat ini tidak membuktikan secara logis, tetapi membangkitkan semangat keberanian. Bila diuraikan secara struktur logika:

Orang yang berani selalu dikenang sepanjang zaman.

Kehidupan sejati adalah kehidupan yang meninggalkan jejak.

Maka, beranilah agar hidupmu berarti.

Lukisan digital bergaya klasik yang menggambarkan seorang ulama sufi tua sedang bersyair dengan penuh penghayatan. Ia mengenakan jubah cokelat dan sorban, berdiri di hadapan mimbar kecil sambil mengangkat tangan kanan dan menempelkan tangan kiri ke dada. Dari lisannya mengalir kaligrafi Arab yang melambangkan makna mendalam. Gaya dan suasana gambar ini merepresentasikan Asy-Syi‘r sebagai salah satu bentuk Aqṣām al-Ḥujjah dalam ilmu manṭiq — hujjah yang mengandalkan keindahan bahasa dan daya imajinasi untuk menggugah perasaan dan pemikiran.
Asy-Syi‘r: Keindahan Logika dalam Ungkapan Puisi Sufi

Walau tampak logis, kekuatannya bukan pada bukti rasional, tetapi pada keindahan bahasa dan daya dorong emosional yang menggugah jiwa.

Kekuatan dan Kedudukan Syi‘r

Dari segi kekuatan hujjah, as-Syi‘r menempati tingkatan paling lemah dibanding burhān, jadal, dan khiṭābah, karena tidak menghasilkan pengetahuan ilmiah, hanya perasaan dan dorongan moral. 

Namun, kelemahan ini justru menjadi keunggulan praktis dalam bidang dakwah, pendidikan, dan seni, sebab keindahan sering kali lebih cepat menggerakkan hati daripada dalil logis.

Para ahli manṭiq seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā menyebut as-Syi‘r sebagai al-ḥujjah al-jamīlah (argumen estetis) yang bekerja pada ‘aql ‘amalī — akal praktis manusia — yakni bagian dari akal yang menggerakkan kehendak dan tindakan.

Kegunaan Syi‘r

Dalam dakwah: Menanamkan nilai keindahan dan moral dengan cara yang lembut dan menyentuh.

Dalam pendidikan: Menumbuhkan motivasi dan kecintaan terhadap kebaikan.

Dalam sejarah Islam: Banyak penyair seperti Ḥassān ibn Thābit ra. menggunakan syi‘r untuk membela Rasulullah ﷺ dan memperkuat semangat kaum muslimin.

Namun bila digunakan untuk menipu atau menanamkan ide sesat, as-Syi‘r berubah menjadi alat yang berbahaya. 

Karena itu, Al-Qur’an memuji penyair yang beriman dan beramal saleh, tetapi mengecam penyair yang menyesatkan:

وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ ۝ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ ۝ وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ ۝ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ

“Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di setiap lembah (khayalan), dan mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan? Kecuali para penyair yang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan membela diri setelah mereka dizalimi.” (QS. Asy-Syu‘arā’ [26]: 224–227)

Dengan demikian, as-Syi‘r adalah hujjah yang bersifat adabiyyah (estetis) — bukan logis, tetapi moral dan emosional. 

Ia tidak menegakkan kebenaran dengan bukti, melainkan menanamkan kebenaran dalam rasa. 

Dalam dakwah dan pendidikan, syi‘r menjadi senjata batin yang menembus hati, menggabungkan keindahan dengan kebenaran.

5. Al-Mughālaṭah (المغالطة): Argumen Sesat atau Tipu Logika

Tingkatan terakhir dari hujjah adalah al-Mughālaṭah, yaitu hujjah yang secara lahir tampak benar, namun hakikatnya salah. 

Ia adalah penyamaran kesalahan dengan bentuk kebenaran. Karena itu, para logikawan menyebutnya sebagai “zaynu al-khaṭa’ bi shūrat al-ṣawāb” — menghiasi kesalahan dengan rupa yang benar.

Definisi dan Penjelasan

Tersebut didalam kitab Sultan al-malawy bahwa al-Mughalatah atau biasa dikenal dengan as-Safsatah adalah:

 مؤلف من مقدمات وهيمة كاذبة

“Tersusun dari premis-premis wahmiyyah (semu) dan dusta.”

Maksudnya, al-Mughālaṭah adalah hujjah yang secara lahir tampak sahih dan meyakinkan, namun pada hakikatnya salah karena dibangun di atas premis-premis yang tidak benar — baik karena kesalahan logis maupun karena penipuan makna.

Dengan kata lain, mughālaṭah adalah argumen yang menipu akal dengan rupa kebenaran, sehingga orang awam dapat terkecoh oleh keindahan susunannya, padahal isinya keliru.

Contoh:

Semua burung bisa terbang.

Kelelawar bisa terbang.

Maka kelelawar adalah burung.

Secara bentuk, hujjah ini tampak logis, tetapi sebenarnya cacat. Sebab kategori “burung” tidak ditentukan oleh kemampuan terbang, melainkan oleh ciri biologis seperti bertelur dan bersayap bulu. 

Inilah bentuk kesalahan logika yang disebut “ghalaṭ fī al-ta‘līl” — kesalahan dalam menentukan sebab.

Jenis-jenis Mughālaṭah

Para ahli manṭiq membagi mughālaṭah menjadi dua bentuk utama:

1. Kesalahan dalam bentuk (صورة) — yaitu kesalahan pada struktur silogisme (qiyās). Misalnya, susunan premis tidak sah secara logis atau mengandung kekeliruan dalam hubungan sebab-akibat.

Contoh: 

Jika seseorang rajin, ia pasti sukses.

Zaid sukses,

Berarti Zaid rajin.

(Padahal kesimpulan tidak harus benar; bisa saja Zaid sukses karena faktor lain.)

2. Kesalahan dalam makna (معنى) — yaitu kekeliruan dalam penggunaan istilah, generalisasi, atau perbandingan yang tidak relevan.

Contoh:

Semua ulama membaca kitab.

Semua pelajar membaca kitab. 

Maka semua pelajar adalah ulama.

(Kesalahan muncul karena penyamaan dua hal yang berbeda secara hakikat.)

Infografis dua dimensi bergaya klasik dengan latar kertas cokelat yang menampilkan struktur Al-Mughālaṭah dalam ilmu manṭiq. Diagram memperlihatkan dua cabang utama, yaitu kesalahan dalam bentuk dan kesalahan dalam makna, dengan tata letak rapi dan warna selaras bernuansa kuning keemasan untuk mencerminkan tema logika Islam klasik.
Struktur Al-Mughālaṭah: Kesalahan dalam Bentuk dan Makna dalam Ilmu Manṭiq

Kegunaan dan Bahayanya

Dalam ilmu manṭiq, mempelajari mughālaṭah bertujuan bukan untuk menggunakannya, tetapi untuk mendeteksi dan menghindarinya. 

Sebab tipu logika sering muncul dalam bentuk yang indah dan meyakinkan, terutama dalam debat, politik, dan media.

Di era modern, mughālaṭah hidup dalam bentuk propaganda, clickbait, atau manipulasi opini publik, misalnya dengan:

Generalisasi terburu-buru: menyimpulkan dari contoh kecil.

False analogy: membandingkan dua hal yang sebenarnya tidak sebanding.

Ambiguitas kata: menggunakan istilah yang bermakna ganda untuk menyesatkan makna.

Argumentum ad populum: menganggap sesuatu benar hanya karena banyak orang mempercayainya.

Nilai dan Tujuan Ilmiah

Maka, memahami mughālaṭah adalah bentuk penjagaan terhadap akal dari penipuan nalar. 

Seorang penuntut ilmu manṭiq tidak hanya belajar bagaimana berargumen, tetapi juga bagaimana tidak terjebak dalam argumen yang tampak benar namun menyesatkan.

Imam al-Ghazālī menegaskan dalam Mi‘yār al-‘Ilm bahwa “kesalahan dalam berpikir lebih berbahaya daripada kesalahan dalam amal”, karena dari kesalahan berpikir lahir kekeliruan dalam pandangan dan tindakan.

Dengan demikian, al-Mughālaṭah adalah wajah gelap dari hujjah — ia mengajarkan bahwa tidak semua yang tampak logis adalah benar, dan tidak semua yang indah dalam kata membawa kebenaran. 

Maka tugas seorang pencari ilmu bukan hanya membangun hujjah, tetapi juga membedakan antara nūr al-‘aql (cahaya akal) dan ghurūr al-‘aql (tipuan akal).

Hierarki Kekuatan Hujjah

Dari lima jenis hujjah di atas, para logikawan menyusun hierarki kekuatan berdasarkan tingkat kepastian premis dan tujuan penggunaannya. 

Semakin pasti dan rasional premisnya, semakin tinggi pula derajat hujjah tersebut.

1. Al-Burhān (البرهان) – Argumen demonstratif.

Merupakan hujjah tertinggi karena tersusun dari premis-premis yang pasti (yaqīniyyah). 

Ia menghasilkan pengetahuan yang meyakinkan dan menjadi landasan bagi ilmu-ilmu teoritis.

2. Al-Jadal (الجدل) – Argumen dialektis.

Berada satu tingkat di bawah burhān, karena dibangun dari premis-premis yang diterima (musallamāt). 

Hasilnya tidak mencapai kepastian, tetapi cukup kuat dalam konteks perdebatan ilmiah.

3. Al-Khiṭābah (الخطابة) – Argumen retoris.

Mengandalkan premis yang diterima masyarakat luas (maqbūlāt). 

Tujuannya bukan membuktikan, melainkan meyakinkan dan menggerakkan hati khalayak.

4. Asy-Syi‘r (الشعر) – Argumen estetis.

Lebih rendah lagi, karena bersifat imajinatif dan emosional. 

Ia tidak memberi pengetahuan, tetapi menanamkan kesan moral dan rasa keindahan.

5. Al-Mughālaṭah (المغالطة) – Argumen sesat.

Merupakan tingkat terendah, sebab ia menipu akal dengan bentuk kebenaran yang palsu. Fungsinya dalam manṭiq hanya untuk dikenali dan dihindari.


Dari hierarki ini tampak bahwa semakin tinggi tingkat kebenaran premis, semakin kuat pula hasil hujjahnya. 

Burhān menempati puncak piramida rasionalitas, sementara mughālaṭah menjadi dasar yang harus dihindari. 

Seorang pemuda menunjuk ke kepalanya sebagai simbol aktivitas berpikir, menggambarkan keterkaitan erat antara ilmu mantiq dan proses penalaran logis dalam memahami kebenaran. Latar dan pencahayaan lembut memberikan nuansa reflektif yang menekankan makna berpikir rasional dalam Islam.
Ilmu Mantiq: Fondasi Berpikir Rasional dalam Tradisi Keilmuan Islam

Ilmu manṭiq mengajarkan kita bahwa berpikir bukan sekadar berbicara dengan alasan, tetapi berargumen dengan disiplin. 

Hujjah yang baik harus berdiri di atas fondasi yang benar, dengan tujuan yang lurus.

Pembagian aqsām al-ḥujjah ke dalam lima jenis ini membantu kita memahami perbedaan antara argumen ilmiah, debat, retorika, puisi, dan tipu logika. 

Dalam dunia modern, semua jenis ini masih hidup — di ruang akademik, di mimbar dakwah, bahkan di media sosial.

Karenanya, memahami struktur dan derajat hujjah bukan hanya penting bagi ahli manṭiq, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin berpikir jernih di tengah derasnya arus opini.

Burhān mengajarkan kebenaran,

Jadal melatih keteguhan,

Khithābah menggerakkan masyarakat,

Syi‘r menyentuh hati,

dan Mughālaṭah memperingatkan bahaya penipuan nalar.

Dengan memahami kelima jenis hujjah ini, kita tidak hanya menjadi pembicara yang cerdas, tapi juga pemikir yang bijak—yang mampu menimbang setiap argumen dengan mata akal dan hati nurani.

Namun perlu dicatat bahwa pembagian lima hujjah — al-burhān, al-jadal, al-khiṭābah, as-syi‘r, dan al-mughālaṭah — seluruhnya tergolong dalam metode al-qiyās al-manṭiqī, bukan tamsīl maupun istiqrā’. 

Sebab, kelima hujjah itu disusun atas dasar struktur silogistik, yaitu dua premis (muqaddimah kubrā dan muqaddimah ṣughrā) yang menghasilkan satu kesimpulan (natījah).

Perbedaannya hanya terletak pada jenis premis yang digunakan: ada yang pasti (yaqīniyyah), ada yang musallam, maqbul, takhyīl, bahkan wahm.


* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.


Referensi:

  • Sullam Al-Munawraq, Imam Al-Asghary
  • Syarh As-Sullam lil malawy, Muhammad bin Ali As-Sabban
  • Isagujhi, Atsiruddin Al-Abhari
  • Ilmu Mantiq, Muhammad Nuruddin

Posting Komentar

0 Komentar