Qaziyyah: Menimbang Kebenaran dengan Akal yang Teratur

"Akal tanpa aturan ibarat pedang tanpa sarung — bisa melukai siapa pun, termasuk pemiliknya."

 (Al-Taftāzānī, Tahdzīb al-Manṭiq) 

Ketika Akal Harus Belajar Menimbang

Setiap hari kita berpikir, menilai, menyimpulkan, dan meyakini sesuatu.

Namun, tak jarang pikiran kita tersesat oleh emosi, prasangka, atau informasi yang kabur.

Di sinilah ilmu manṭiq — logika dalam tradisi Islam — hadir sebagai penuntun akal.

Ia bukan ilmu untuk berdebat semata, melainkan alat untuk menata cara berpikir, agar setiap keputusan, keyakinan, dan pandangan kita berpijak pada kebenaran yang jelas.

Dan di antara pembahasan penting dalam logika adalah qaziyyah (القضية) — yang bisa kita sebut premis, pernyataan, atau kalimat yang dapat dinilai benar atau salah.

Apa Itu Qaziyyah?

Tulisan Arab "ما هي القضية" (yang berarti “Apa permasalahannya?”) tertera di tengah gambar dengan gaya kaligrafi elegan berwarna krem, berlatar belakang coklat tua bertekstur seperti kertas kuno.

Dalam kitab klasik Isāghūjī, Athīr al-Dīn al-Abharī menjelaskan:

 القضية هي قول يمكن أن يُقال لقائله إنه صادق أو كاذب

“Qaziyyah adalah suatu ucapan yang dapat dikatakan kepada pengucapnya: engkau benar atau engkau salah.”

Artinya, qaziyyah adalah kalimat berita (khabar) yang bisa diuji kebenarannya.

Jika kalimat itu tidak bisa dinilai benar atau salah — seperti perintah “Shalatlah kamu!” atau pertanyaan “Apakah kamu sudah makan?” — maka itu bukan qaziyyah.

Contoh sederhana:

“Matahari terbit dari timur.” → benar.

“Api itu dingin.” → salah.

Dua-duanya disebut qaziyyah, karena keduanya mengandung penilaian.

Struktur Dasar Qaziyyah

Setiap qaziyyah memiliki dua unsur utama:

1. Mawḍū‘ (subjek) → hal yang dibicarakan.

2. Maḥmūl (predikat) → hal yang diberitakan tentang subjek.

Keduanya dihubungkan oleh nisbah ḥukmiyyah — yaitu kaitan penetapan atau penafian antara keduanya.

Diagram visual yang menunjukkan struktur dasar Qaziyyah, terdiri atas dua komponen utama: Mawḍū‘ (subjek) dan Maḥmūl (predikat), yang dihubungkan oleh hubungan hukum (nisbah ḥukmiyyah).
Struktur Dasar Qaziyyah dalam Logika Islam

Contoh: 

“Manusia itu makhluk berakal.”

Mawḍū‘ = Manusia

Maḥmūl = Makhluk berakal

Nisbah = Penetapan bahwa manusia memang berakal.

Jadi, qaziyyah bukan sekadar kalimat, tapi timbangan makna — tempat kita menilai hubungan antara dua hal, apakah benar adanya atau tidak.

Jenis-Jenis Qaziyyah

Para ulama logika, seperti al-Akhḍarī dalam Al-Sullam al-Munawraq, membagi qaziyyah ke dalam beberapa jenis.

Mari kita telusuri dengan bahasa yang ringan.

1. Berdasarkan arah penetapan

1. Mujibah (positif): menetapkan sesuatu.

“Manusia itu makhluk hidup.”

2. Sālibah (negatif): menafikan sesuatu.

“Batu bukan makhluk hidup.”

Dua bentuk ini mewakili dua gerak akal manusia — menetapkan atau menolak.

2. Berdasarkan luasnya cakupan

1. Kulliyyah (universal): mencakup semua individu.

“Setiap manusia akan mati.”

2. Juz’iyyah (parsial): hanya sebagian.

“Sebagian manusia rajin belajar.”

3. Mufradah (individual): untuk satu orang saja.

“Zaid adalah seorang ulama.”

4. Muhmalah (umum tapi tak tegas): tidak disebut sebagian atau semua.

“Manusia berakal.” (umumnya dianggap umum).

3. Berdasarkan waktu kebenarannya

1. Sebagian qaziyyah berlaku selalu benar, seperti: 

“2 + 2 = 4.”

2. Sebagian lainnya benar pada kondisi tertentu, seperti:

“Pohon ini berbuah.”

Inilah yang diingatkan al-Taftāzānī dalam Tahdzīb al-Manṭiq:

“Kebenaran tidak selalu bersifat mutlak; kadang ia terikat oleh waktu dan keadaan.”

Qaziyyah Sebagai Dasar Penalaran

Dalam logika, qaziyyah bukan tujuan akhir. Ia adalah batu bata pertama bagi bangunan berpikir yang lebih tinggi, yakni qiyās (silogisme) — metode menarik kesimpulan.

Contoh klasik yang sering disebut para ulama:

"Setiap manusia akan mati." (Qaziyyah Kulliyyah/premis universal)

"Zaid adalah manusia." (Qaziyyah Juz’iyyah/premis parsial)

"Maka Zaid akan mati." (Natījah, kesimpulan/konklusi)

Tanpa dua qaziyyah pertama, tak akan lahir kesimpulan ketiga.

Itulah sebabnya ulama logika berkata:

مَنْ لَا يَعْرِفُ القَضِيَّةَ فَلَا يَعْرِفُ القِيَاسَ

“Barang siapa tidak memahami qaziyyah, maka ia tidak akan memahami penalaran.”

Tasawwur dan Tasdiq: Dua Langkah Akal

Para logikawan klasik membedakan dua tahap dalam berpikir:

1. Tasawwur (تصور) → memahami makna sesuatu, tanpa menilai benar atau salah.

Contoh: membayangkan “gunung emas."

2. Tasdiq (تصديق) → menetapkan atau menolak kebenarannya.

Contoh: “Gunung emas itu tidak ada.”

Hanya tahap tasdiq yang disebut qaziyyah. Sebab di situlah akal mulai menghakimi realitas — menimbang kebenaran dan kebatilan.

Tasawwur dan Tasdiq: Dua Langkah Akal dalam Logika Islam
Tasawwur dan Tasdiq: Dua Langkah Akal dalam Logika Islam

Kesalahan dalam Qaziyyah: Sumber Kekacauan Berpikir

Al-Qazwīnī dalam Al-Mirqāt fī al-Manṭiq menyebut tiga kesalahan umum dalam menyusun qaziyyah:

1. Salah mendefinisikan subjek atau predikat.

Misalnya: 

“Semua binatang bisa berbicara.”

Ungkapan ini salah, karena subjeknya terlalu luas.

2. Salah menghubungkan keduanya.

 “Api itu dingin.”

Ini juga salah dalam hubungan penetapan.

3. Kabur dalam makna.

“Adil itu mudah.”

Ini juga salah karena berupa kalimat yang ambigu bisa menyesatkan logika.

Kesalahan kecil seperti ini, jika dibiarkan, bisa menjelma menjadi kekeliruan besar dalam berpikir, berdalil, bahkan beragama.

Qaziyyah dalam Pandangan Islam

Sebagian orang beranggapan logika hanyalah warisan Yunani, padahal para ulama Islam telah menyaringnya dengan iman.

Imam al-Ghazālī dalam Mi‘yār al-‘Ilm berkata bahwa logika adalah alat untuk menimbang kebenaran, bukan sumber kebenaran itu sendiri.

Akal adalah penimbang, wahyu adalah cahaya.

“Tanpa akal, wahyu tak akan dipahami; tanpa wahyu, akal akan tersesat.”— al-Ghazālī

Dengan demikian, qaziyyah dalam logika Islam bukan sekadar latihan berpikir, melainkan sarana menegakkan kebenaran yang berpijak pada akal yang jernih dan hati yang tunduk.

Pelajaran dari Era Digital

Bayangkan seseorang berkata:

“Semua berita di media sosial itu benar.”

Kalimat ini secara logika adalah qaziyyah kulliyyah mujibah — tapi jelas salah.

Yang lebih tepat mungkin:

“Sebagian berita di media sosial itu palsu.”

Gambar visual seseorang yang sedang menunjukkan kepalanya sebagai bentuk sedang mengekpresikan berpikir

Dengan membiasakan berpikir dalamv kerangka qaziyyah, kita belajar menakar, tidak tergesa-gesa, dan tidak menelan mentah-mentah setiap informasi.

Logika yang benar melahirkan akal yang tenang, bukan tergesa.

Dan akal yang tenang melahirkan masyarakat yang beradab.

Menimbang dengan Cahaya Akal

Ilmu manṭiq bukan ilmu kering yang hanya layak di ruang akademik.

Ia adalah seni menjaga akal dari kekacauan, seni menimbang dengan adil antara pikiran dan realitas.

 أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Tidakkah kalian berpikir?” (QS. al-Baqarah [2]: 44)

Ayat ini bukan hanya perintah untuk berpikir, tapi juga untuk berpikir dengan tertib dan benar.

Karena berpikir tanpa aturan adalah awal dari kesesatan,

sementara berpikir dengan ilmu — seperti dengan qaziyyah — adalah langkah menuju kebenaran.


* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.

Referensi:

  • Isāghūjī fī al-Manṭiq, Athīr al-Dīn al-Abharī.
  • Al-Sullam al-Munawraq, al-Akhḍarī.
  • Tahdzīb al-Manṭiq, Sa‘d al-Dīn al-Taftāzānī.
  • Al-Mirqāt fī al-Manṭiq, al-Qazwīnī.
  • Mi‘yār al-‘Ilm, Imam al-Ghazālī.


Posting Komentar

0 Komentar