![]() |
Ilustrasi Imam Sibawaihi Sang Ahli Nahwu |
Bayangkan ada seorang tokoh yang dijuluki “Si Apel”, bukan karena ia pedagang buah, bukan pula karena warna pakaiannya—melainkan karena aroma tubuhnya yang konon semerbak layaknya apel segar. Yang lebih mengejutkan, si “apel” ini bukan hanya harum secara harfiah, tapi juga meninggalkan “harum ilmu” yang semerbak dalam sejarah keilmuan Islam.
Ia bukan orang Arab. Ia lahir di Persia. Tapi karyanya menjadi kitab paling agung dalam ilmu tata bahasa Arab sepanjang sejarah. Dialah Sibawaih, sosok yang hingga hari ini tetap menjadi rujukan utama dalam ilmu nahwu.
Tulisan ini membahas perjalanan hidup, karya, dan kontribusi linguistik Sibawaih yang menjadikannya simbol keilmuan Islam lintas budaya.
Asal Usul dan Julukan Unik
Nama lengkapnya adalah ‘Amr bin ‘Utsmān bin Qanbar, bekas budak dari Bani al-Harits bin Ka‘b bin ‘Amr bin ‘Ullah bin Jald bin Malik bin Udad. Ia memiliki kuniyah Abu Bisyir, dan ada yang mengatakan kuniyah-nya Abu al-Hasan.
Beliau sering disapa dengan nama Sibawaih (سيبويه), yang berasal dari bahasa Persia dan berarti “bau apel”. Ada yang mengatakan, julukan ini diberikan karena aroma tubuhnya yang harum. Ada pula yang menyebut itu sebagai panggilan sayang dari ibunya. Ada pula yang mengatakan karena kedua pipinya merah merona seperti dua buah apel.
![]() |
Imam Sibawaih Menyendiri Menulis Kitab |
Sibawaih dilahirkan di kota Baydha, wilayah Fars (Iran sekarang) sekitar pertengahan abad ke-2 Hijriah (sekitar tahun 140 H). Meski berasal dari luar Jazirah Arab, kemampuannya dalam memahami, menganalisis, dan menyusun sistem bahasa Arab melampaui banyak penutur aslinya.
Ahmad bin Mu‘awiyah al-‘Ulami meriwayatkan bahwa saat Sibawaih disebutkan di hadapan ayahnya, sang ayah berkata: “Aku pernah melihat ‘Amr bin ‘Utsman (Sibawaih) saat masih muda. Ia dikenal pada zamannya sebagai perawi paling kuat pendapat gurunya, al-Khalil bin Ahmad. Aku pernah mendengarnya berdiskusi dalam ilmu nahwu, meski lisannya agak gagap. Namun, tulisannya jauh lebih fasih daripada ucapannya.”
Baca Juga: Sibawaih
Titik Balik: Dari Hadis ke Nahwu
Sibawaih awalnya datang ke Bashrah untuk menuntut ilmu hadis dan menghadiri majelis Hammad bin Salamah. Dalam salah satu majelis, ia mendengar hadis Nabi ﷺ:
ليس من أصحابي إلا من لو شئت لأخذت عليه، ليس أبا الدرداء
Sibawaih mengoreksi lafaz tersebut secara gramatikal: "ليس أبو الدرداء" (laysa abu al-darda'). Namun, Hammad menegurnya bahwa "ليس" dalam konteks itu adalah huruf istitsna' (pengecualian), bukan kalimat nafi biasa.
Merasa tidak puas dan ingin mendalami ilmu yang tidak bisa dengan mudah disalahkan oleh siapa pun, Sibawaih pun beralih mempelajari ilmu nahwu kepada al-Khalil bin Ahmad. Di sanalah ia menemukan jalan ilmunya yang sesungguhnya dan menjadi salah satu murid terbaik al-Khalil.
Ibn al-Naththah berkata: “Aku bersama al-Khalil bin Ahmad, lalu datanglah Sibawaih. Maka al-Khalil berkata: ‘Selamat datang tamu yang tak membosankan.’” Abu ‘Amr al-Makhzumi (yang sering bersama al-Khalil) berkata: “Aku tidak pernah mendengar al-Khalil mengucapkan kalimat itu kecuali kepada Sibawaih.”
Guru-Guru Besar
Sibawaih menimba ilmu dari para ulama besar bahasa Arab:
-
Al-Khalīl ibn Aḥmad al-Farāhīdī – Penemu ilmu ‘arudh dan penulis kamus Arab pertama.
-
Yūnus ibn Ḥabīb – Ahli bahasa dan penyair ternama.
-
Abū ‘Amr ibn al-‘Alā’ – Seorang qari’ dan linguist dari Basrah.
![]() |
Imam Sibawaih dan Gurunya al-Khalil dalam Majelis Ilmu |
Ia juga belajar kepada ‘Isa ibn ‘Umar dan Abū al-Khaṭṭāb al-Akhfasy, serta banyak belajar langsung dari orang Arab Badui (a‘rāb), yang ucapannya dianggap sebagai standar tertinggi bahasa Arab fushā.
Karya Agung: Al-Kitāb
Puncak karya ilmiahnya adalah kitab berjudul al-Kitāb — sebuah karya monumental yang menjadi rujukan utama dalam ilmu nahwu selama berabad-abad. Meskipun tidak mencantumkan nama penulis secara eksplisit, para ulama sepakat bahwa kitab ini adalah karya Sibawaih.
Dalam al-Fihrist, disebut:
وعمل كتابه الذي لم يسبقه إلى مثله أحد قبله ولم يلحق به بعده"Ia menulis kitabnya — yang tidak ada seorang pun sebelum atau sesudahnya yang menyamainya."
Tersebut pula dalam Al-Fihrist bahwa terdapat dalam tulisan tangan Abu al-‘Abbas Tsa‘lab: Ada empat puluh dua orang yang terlibat dalam proses penyusunan kitab Sibawaih, termasuk dirinya sendiri. Adapun fondasi dan permasalahan pokoknya berasal dari al-Khalil.
![]() |
Majelis Ilmu Imam Sibawaih bersama Para Muridnya |
Dalam al-Kitāb, Sibawaih menggunakan pendekatan rasional dan deduktif, disertai kutipan dari:
-
syair-syair Arab kuno,
-
ayat-ayat Al-Qur’an,
-
dan ucapan Arab Badui.
Ia sering mengawali argumentasi dengan kalimat:
سَمِعْتُ العَرَبَ يَقُولُونَ…“Aku mendengar orang Arab mengatakan…”
Pendekatan ini menunjukkan bahwa ilmunya tidak hanya teoritis, tapi sangat terhubung dengan praktik bahasa yang hidup.
Diriwayatkan juga dari selain tulisan Tsa‘lab bahwa: Setiap kali ada orang yang ingin membaca Kitab Sibawaih kepada al-Mubarrad, ia akan berkata kepadanya: “Engkau telah menaiki lautan,” sebagai bentuk pengagungan terhadap kitab itu dan besarnya ilmu yang dikandungnya.
Al-Mazini juga berkata: Barang siapa yang hendak menulis kitab besar dalam ilmu nahwu setelah Kitab Sibawaih, hendaklah ia merasa malu.
Perdebatan Ilmiah: Sibawaih vs. al-Kisā’ī
Pada usia 32 tahun, Sibawaih datang ke Iraq di masa pemerintahan Khalifah Hārūn al-Rasyīd. Kedatangannya sebagai ahli nahwu muda dari Bashrah menimbulkan kegelisahan bagi al-Kisā’ī, tokoh besar ilmu nahwu dari Kufah.
Merasa posisinya terancam, Maka ia mendatangi Ja‘far bin Yahyā bin Barmak dan al-Faḍl bin Yahyā bin Barmak dan berkata, “Orang ini datang untuk menggulingkanku.”
Maka diselenggarakanlah sebuah forum ilmiah yang kemudian dikenal sebagai al-Munāẓarah al-Naḥwiyyah — debat besar dalam sejarah ilmu tata bahasa Arab.
Majelis debat digelar di Baghdad, di hadapan keluarga Barmak. Sibawaih hadir seorang diri, sementara al-Kisā’ī datang dengan dukungan sejumlah muridnya seperti al-Farrā’, al-Aḥmar, dan lainnya.
![]() |
Perdebatan Ilmiah antara Imam Sibawaih dan Imam Al-Kisā’ī di Majelis Ulama |
Ada sebanyak 100 pertanyaan yang dilontarkan kepada Sibawaih, dan salah satu pokok persoalan yang diperdebatkan adalah contoh kalimat:
"كنت أظن العقرب أشدَّ لَسْعَةً من الزُّنبور، فإذا هو هي"
"Aku kira lebah penyengat (zunbūr) lebih sakit sengatannya daripada lebah biasa, ternyata itu lebah juga."
Sibawaih menegaskan bahwa bentuk yang benar dalam bahasa Arab untuk mengakhiri kalimat itu adalah: "fa idzā huwa hiya" (فإذا هو هي) — karena hiya adalah khabar (predikat) dari mubtada’ sebelumnya.
Sedangkan bentuk "fa idzā huwa iyāhā" (فإذا هو إياها) dianggapnya salah, karena iyāhā adalah maf‘ūl (objek) dan tidak cocok dalam struktur kalimat tersebut.
Namun, al-Kisā’ī dan para pendukungnya menolak pandangan Sibawaih dan justru mendukung bentuk "iyāhā". Untuk memutuskan perdebatan, dihadirkanlah sekelompok Arab Badui asli sebagai rujukan otoritatif. Mereka memilih bentuk "iyāhā", sehingga majelis pun memutuskan bahwa pendapat Sibawaih tidak diterima.
Riwayat dari Kufah menyatakan bahwa al-Kisā’ī menang dalam debat ini, sedangkan riwayat dari Bashrah bersikukuh bahwa Sibawaih-lah yang sebenarnya unggul secara keilmuan. Apa pun hasil resminya, perdebatan ini dikenang sebagai salah satu momen paling penting dan mendalam dalam sejarah perkembangan ilmu nahwu.
Setelah perdebatan itu, al-Kisā’ī berbicara kepada Yahyā bin Khālid yang kemudian menghadiahkan kepada Sibawaih sepuluh ribu dirham sebagai penghormatan. Sibawaih pun kembali ke Bashrah, lalu menuju kampung halamannya di Fars (Ahwaz).
![]() |
Debat Tatap Muka: Imam Sibawaih dan Imam Al-Kisā’ī di Forum |
Ketika Sibawaih sampai di tepi Bashrah, ia mengirim utusan kepadaku. Aku pun menemuinya, dan ia menceritakan padaku kejadian yang ia alami di Baghdad. Setelah itu, ia pergi ke Ahwaz.
Aku pun kemudian pergi ke Baghdad, dan shalat subuh di belakang al-Kisā’ī. Setelah selesai shalat dan ia duduk di mihrabnya, aku menemuinya.
“Demi Allah, apakah engkau Abu al-Hasan Sa‘id bin Mas‘adah al-Akhfasy?”
Aku menjawab: “Ya.”
“Aku ingin anak-anakku belajar padamu, dan kau tidak akan berpisah denganku.”
Ia memintaku menulis kitab tentang Makna al-Qur’an, maka aku pun menulisnya. Al-Kisā’ī menjadikannya sebagai pegangan utama, lalu ia menulis kitabnya sendiri berdasar kitabku. Al-Farrā’ kemudian menulis kitabnya juga berdasarkan keduanya.
Baca Juga: Perbedaan Harakat pada Nun dalam Tatsniyah dan Jamak: Telaah Singkat Tata Bahasa Arab
Akhir Hayat dan Peninggalan
Sibawaih wafat dalam usia yang relatif muda—sebagian mengatakan 32 tahun, sebagian lain menyebut sekitar 40 tahun seperti yang tersebut dalam kitab Al-Fihrist. Riwayat paling kuat menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 180 H, meskipun ada juga yang meriwayatkan tahun 188 H sebagai tahun wafatnya.
Tersebut dalam kitab Thabaqah Al-Nahwiyyin Wa Al-Lughawiyyin, Bahwa beliau wafat pada tahun 180 H dengan usia 33 tahun.
![]() |
Potret Imam Sibawaih: Sang Pakar Nahwu dalam Keheningan Ilmu |
Menjelang akhir hayatnya, Sibawaih jatuh sakit parah. Dalam kondisi lemah, ia meletakkan kepalanya di pangkuan saudaranya yang menangis karena pilu melihat keadaannya. Air mata itu menetes ke wajah Sibawaih, dan ia pun membuka mata, mengucapkan bait syair penuh haru:
Setelah wafat, pada nisannya tertulis bait-bait elegi dari Sulaiman bin Yazid al-‘Adawi, menggambarkan kesendirian dan kepergiannya yang sunyi:
تركوك أوْحشَ ما تكونُ بقَفرَةٍ ... لم يُؤنِسوك وكُرْبَةً لم يَدْفعوا
Mereka tinggalkan engkau dalam sepi paling sunyi, tak ada yang menemani atau mengusir dukamu...
Diberitakan beliau wafat karena sakit diare yang sangat parah, meskipun ada yang mengatakan karena kesediahan yang mendalam setelah pulang dari Iraq.
Meski wafat dalam kesedihan, warisan keilmuan Sibawaih tetap abadi. Kitab terkenalnya, al-Kitāb, menjadi rujukan utama dalam ilmu nahwu. Bahkan, disebutkan bahwa sebagian salinan kitab itu ditemukan di bawah bantal al-Farrā’, ulama Kufah.
Abu Ishaq al-Zajjāj pernah berkata:
"Jika kau pelajari contoh-contoh dalam Kitab Sibawaih, engkau akan tahu bahwa dia adalah orang yang paling berilmu tentang bahasa Arab."
Pujian kepada Imam Sibawaih
Al-Akhfasy Sa‘id bin Mas‘adah berkata: “Setiap kali Sibawaih menulis sesuatu dari kitabnya, ia akan menunjukkannya kepadaku karena mengira aku lebih tahu. Padahal, dia lebih tahu dariku. Tapi sekarang, aku lebih tahu darinya.”
Al-'Aisyiy berkata: “Kami sering duduk bersama Sibawaih di masjid. Ia adalah pemuda tampan, bersih, telah mencicipi banyak cabang ilmu dan menguasainya, meski masih muda."
Ahmad berkata, dari Marwan, dari al-‘Abbas bin al-Faraj al-Rayyashi: “Sibawaih adalah seorang Sunni, mengikuti sunnah.”
Abu Ishaq al-Zajjaj berkata: “Jika kau pelajari contoh-contoh dalam kitab Sibawaih, engkau akan tahu bahwa dia adalah orang yang paling berilmu tentang bahasa Arab.”
Simbol Inklusivitas Keilmuan Islam
Sibawaih adalah simbol keikhlasan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu. Meski bukan Arab, ia membuktikan bahwa kesungguhan mengalahkan asal-usul. Julukannya “Si Apel” bukan hanya karena keharuman fisiknya, tetapi karena ia menjadi buah manis dari semangat ilmu yang murni dan terbuka.
Sibawaih bukan hanya milik ahli nahwu — ia adalah warisan bagi siapa saja yang cinta ilmu. Warisan Sibawaih menjadi pengingat bahwa ilmu tak mengenal batas etnis maupun bahasa. Seperti apel yang harum di mana pun ia tumbuh, ilmu pun demikian — dan kita semua bisa menanamnya.
* Informasi dalam tulisan ini merujuk pada sejumlah kitab turats yang tercantum dalam daftar referensi. Jika terdapat perbedaan dengan versi lain yang beredar, hal itu mungkin disebabkan oleh perbedaan sumber rujukan yang digunakan. Kami berusaha menyajikan narasi seakurat mungkin berdasarkan referensi yang kami pilih.
Referensi:
Posting Komentar
0Komentar