إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka agar perbuatan keji itu tersiar di tengah orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (QS. An-Nūr: 19)
![]() |
Budaya Aib di Era Digital: Saat Maksiat Dijadikan Hiburan |
Beberapa waktu terakhir, dunia maya diramaikan dengan tren #S Line, “garis merah di kepala” yang berasal dari serial Korea berjudul S Line.
Dalam cerita tersebut, seseorang yang pernah melakukan hubungan seksual akan tampak memiliki garis merah di atas kepalanya. Semakin banyak ia melakukannya, semakin banyak pula garis yang terlihat.
Apa yang awalnya hanya bagian dari fiksi, kini menjelma menjadi tren dunia maya. Filter TikTok, meme, candaan, hingga editan lucu bermunculan—seolah menjadi ajang ‘pengakuan dosa digital’.
Banyak netizen yang ikut-ikutan menertawakan dan bahkan merasa ‘bangga’ dengan seberapa banyak garis merah yang mereka ‘punya’. Namun di balik semua kelucuan itu, ada hal mendalam yang patut direnungkan—terutama dari perspektif Islam: Apakah kita sedang menjadikan aib sebagai panggung? Apakah kita sedang tertawa di atas dosa?
Baca Juga: Berawal dari Drama Korea, Kenapa Trend S Line Dikritik?
Allah Menutupi Aib, Kita Malah Membukanya?
Salah satu bentuk rahmat Allah adalah menutupi dosa hamba-Nya selama ia tidak mengumbarnya sendiri.
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ....وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan (dalam dosa)... padahal Allah telah menutupi dosanya di malam hari, lalu di pagi harinya ia membuka tabir Allah sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Konsep fiktif “S Line” sejatinya bukan sesuatu yang membanggakan. Justru, ia menyindir betapa ngerinya jika dosa kita terlihat secara nyata. Bayangkan jika setiap maksiat yang kita lakukan tampak di wajah kita—masihkah kita bisa tertawa? Ataukah kita akan menangis malu dan berharap ditelan bumi?
![]() |
Ilustrasi Tren S Line yang sedang marak |
Bayangkan jika filter itu nyata—apa kita masih bisa tertawa? Atau justru menangis malu karena dosa kita diumbar seperti stiker digital?
Yang menyedihkan, kini kita justru tertawa, menyebarkan, dan bahkan bangga dengan “tanda dosa” yang seharusnya kita sembunyikan. Kita mempermainkan sesuatu yang seharusnya ditangisi. Aib bukan seni. Dosa bukan prestasi.
Aib Tidak Pernah Layak Dinormalisasi
Entah dianggap hiburan atau potret sosial, aib tetaplah aib. Ia bukan untuk dijadikan filter, candaan, atau tren viral. Islam tidak membenarkan seseorang menjadikan perbuatan keji sebagai konsumsi publik.
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka agar perbuatan keji itu tersiar di tengah orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (QS. An-Nūr: 19)
Hari ini kita tertawa soal zina. Besok, kita menormalkannya. Lusa, kita kehilangan rasa malu dan takut. Beginilah cara dosa membunuh iman—pelan-pelan dan penuh canda.
Dosa yang Ditertawakan Tak Lagi Dirasakan
Ketika maksiat dijadikan hiburan, maka ia kehilangan efek jeranya. Zina bukan lagi dianggap sebagai perbuatan keji, melainkan hanya “jumlah garis merah”.
Ini bukan hanya tren—ini adalah proses pembusukan budaya. Kita sedang kehilangan sensitivitas terhadap maksiat, karena terlalu sering melihatnya dibungkus sebagai lucu-lucuan.
Rasa Malu Itu Iman
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ
“Malu itu bagian dari iman. Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” (HR. Bukhari)
Tren seperti “S Line” sedang mematikan rasa malu. Dan ketika rasa malu mati, maka yang tersisa hanyalah kehinaan yang terbuka lebar. Orang tidak lagi takut berbuat dosa—karena dosa telah dijadikan bahan tontonan yang menyenangkan.
Jangan Jadi Penyebar Aib, Jadilah Penjaga Aib
![]() |
Jangan Jadi Penyebar Aib, Jadilah Penjaga Aib |
Islam tak mengajarkan kita menjadi penghukum dosa orang lain. Tapi juga tidak mengizinkan kita menjadi penyambung lidah syaitan—dengan ikut menyebarkan konten yang menjadikan dosa sebagai hiburan. Bahkan menikmati dan menertawakan konten semacam itu bisa menjadi bentuk partisipasi dalam kemaksiatan.
مَن سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Dan siapa yang menutupi aib saudaranya, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Jika kamu ikut bermain filter S Line, menyebarkannya, atau menertawakannya—sadarlah, kamu sedang mempermainkan sesuatu yang Allah benci.
Apakah kita ingin dosa menjadi bahan bakar tawa kita di dunia—lalu menjadi bahan bakar api kita di akhirat?
Dari Tren ke Budaya: Jangan Normalisasi yang Diharamkan
Drama S Line memang fiksi. Tapi ketika zina, aib, dan maksiat dijadikan bahan candaan, itu bukan sekadar hiburan—itu awal dari pembentukan budaya bobrok. Budaya umbar aib bukan budaya Islam.
Akan ada yang berkata, “Dikit-dikit bawa agama. Ini cuma hiburan.” Tapi dari yang ‘cuma hiburan’ itulah, rasa malu memudar, iman terkikis, dan akhirnya dosa menjadi biasa. Kita menertawakan yang seharusnya ditangisi.
Penutup: Di Balik Tawa, Ada Neraka yang Diam-Diam Menyala
Inilah penyakit zaman ini: yang keji dianggap lucu, yang memalukan dijadikan tren, yang dosa disulap jadi ajang pamer. Maka jangan heran jika kita kehilangan arah—karena kita sendiri yang mengubur rasa malu.
Jika Allah tak menutupi aib kita, kita mungkin lebih hina dari yang kita bayangkan. Maka jagalah rasa malu, tutuplah aib, dan jangan tertawa di atas dosa. Karena yang kita tertawakan hari ini, bisa jadi menjadi alasan tangisan kita di akhirat nanti.
Tulisan ini adalah refleksi nilai keislaman atas fenomena sosial. Kritik ditujukan pada tindakan, bukan individu atau kelompok tertentu.
* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.
Referensi:
- Al-Qur'an: QS. An-Nur: 19
- Hadis: Shahih Bukhari no. 6069, Muslim no. 2990, Shahih Bukhari no. 24, Muslim no. 35, ṣaḥīḥ Ibn Mājah no. 197
Posting Komentar
0Komentar