Bolehkah Beramal dengan Hadis Dhaif? Ini 7 Syarat Utama yang Harus Dipenuhi

Pengembara Ilmu
By -
0

Tipografi Arab dan Indonesia bertuliskan "Syarat Beramal dengan Hadis Dhaif" dengan latar krem keemasan bernuansa Islami.
Syarat-syarat beramal dengan hadis dhaif dalam keutamaan amal


Apakah Anda termasuk yang masih ragu untuk mengamalkan hadis dhaif? Atau justru terbiasa menggunakannya tanpa memahami syarat-syaratnya?


Dalam dunia Islam, hadis dhaif (lemah) sering menjadi bahan diskusi. Banyak pertanyaan muncul: Bolehkah beramal dengannya? Bagaimana jika hadis itu hanya berbicara tentang keutamaan amal? Artikel ini akan mengajak Anda menelusuri jawaban dari pertanyaan tersebut secara ilmiah namun tetap bersahabat.


Apa Itu Hadis Dhaif?

Secara sederhana, hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu syarat hadis sahih atau hasan. Hadis jenis ini memiliki kelemahan, baik dalam sanad maupun matan (isi), seperti rawi yang kurang terpercaya, terputus sanad, atau faktor lainnya.


Namun, meskipun hadis tersebut tergolong lemah, para ulama tidak serta-merta menolaknya mentah-mentah, terutama dalam konteks fadhailul a’mal (keutamaan amal).


Hukum Beramal dengan Hadis Dhaif

Para ulama, termasuk Imam an-Nawawi, sepakat bahwa beramal dengan hadis dhaif dibolehkan dalam keutamaan amal, seperti dzikir dan doa, selama tidak digunakan untuk menetapkan hukum halal dan haram.


Syarat Beramal dengan Hadis Dhaif

Berikut ini adalah syarat-syarat utama beramal dengan hadis dhaif, sebagaimana disepakati oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah:


1. Tidak Terlalu Lemah

Hadis yang sangat lemah tidak boleh diamalkan. Yang dimaksud “tidak terlalu lemah” adalah hadis yang tidak diriwayatkan oleh pendusta, orang yang dituduh berdusta, atau perawi yang sangat buruk hafalannya.


Contohnya: Hadis yang dalam sanadnya ada rawi seperti Baqiyyah bin al-Walid yang dikenal banyak mendaliskan hadis (meriwayatkan secara tidak langsung) dari perawi dhaif tanpa menyebutkan sumber jelas.


2. Tidak Mengandung Amalan yang Tanpa Dasar Syariat

Hadis dhaif yang diamalkan harus termasuk dalam prinsip umum ajaran Islam. Artinya, amalan dalam hadis tersebut tidak boleh merupakan ibadah baru yang sama sekali asing dalam syariat.


Bila sebuah hadis dhaif mengandung amalan yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an, sunnah sahih, atau praktik para sahabat, maka tidak boleh diamalkan.


Contohnya, dzikir atau ibadah khusus yang hanya muncul dalam hadis dhaif dan tidak dikenal sebelumnya dalam Islam, tidak boleh dijadikan pedoman.


Sebaliknya, hadis dhaif yang isinya sejalan dengan ajaran Islam secara umum—seperti ajakan shalat malam, berzikir, atau bersedekah—masih bisa diamalkan karena memiliki dasar kuat dalam syariat.

3. Tidak Diyakini Sebagai Hadis yang Pasti Benar

Saat mengamalkannya, tidak boleh diyakini bahwa hadis itu pasti benar berasal dari Nabi ﷺ, melainkan cukup dijadikan motivasi atau ihtiyath (kehati-hatian) dalam beribadah.


4. Hanya Dalam Masalah Fadhailul A’mal

Penggunaan hadis dhaif dibatasi hanya pada keutamaan amal, seperti dzikir, shalat sunnah, atau puasa. Tidak berlaku dalam penetapan hukum halal-haram, akidah, atau ibadah wajib.


5. Tidak Bertentangan dengan Hadis Sahih

Jika ada hadis sahih yang isinya bertolak belakang dengan hadis dhaif, maka hadis sahih yang didahulukan, dan hadis dhaif tersebut tidak boleh diamalkan.


6. Tidak Dianggap Sebagai Sunnah Syar’iyah yang Ditetapkan

Syaikh Alawi al-Maliki menjelaskan bahwa mengamalkan hadis dhaif tidak sama dengan meyakini itu sebagai sunnah muakkadah. Namun, jika diamalkan sebagai bentuk kesunahan yang tidak pasti, itu masih dibolehkan.


7. Tidak Disebarkan Secara Luas Sehingga Menimbulkan Salah Paham

Al-Hafiz Ibn Hajar menambahkan, jangan sampai hadis dhaif yang diamalkan tersebar luas hingga dianggap sebagai hukum syar’i, apalagi oleh masyarakat awam. Hal ini dikhawatirkan membuat orang salah paham bahwa itu adalah sunnah yang kuat.


Baca Juga: Syarat-Syarat Beramal Hadis Dhaif Menurut Ibnu Hajar

Contoh Hadis Dhaif yang Bisa Diamalkan

من أحيا ليلتي العيد لم يمت قلبه يوم تموت القلوب (رواه ابن ماجه)

“Barangsiapa yang menghidupkan dua malam hari raya karena mengharap pahala dari Allah, maka hatinya tidak akan mati pada hari ketika hati-hati manusia mati.” (HR. Ibnu Majah — sanadnya dhaif)

Meski sanadnya lemah, isi hadis ini memiliki dasar kuat dalam syariat, yakni keutamaan qiyamullail (shalat malam) yang banyak disebut dalam Al-Qur’an dan hadis sahih. Maka, selama tidak diyakini sebagai ajaran pasti, hadis ini boleh diamalkan untuk motivasi ibadah.


Hukum Beramal dengan Hadis Lemah: Kesimpulan

Beramal dengan hadis dhaif tidak serta-merta tertolak, asalkan syarat-syarat di atas dipenuhi dengan hati-hati dan penuh kesadaran


Bahkan, menurut Imam an-Nawawi dan mayoritas ulama, ini adalah praktik yang telah lama diikuti dalam tradisi keilmuan Islam — khususnya dalam konteks keutamaan amal.


“Jangan takut mendekatkan diri kepada Allah meski lewat amal-amal kecil. Tapi pastikan bahwa jalan yang Anda tempuh tetap dalam rel ilmu dan kehati-hatian.”


 

* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.



Referensi

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*