Di tengah berbagai persoalan sosial dan politik yang melanda Indonesia — dari perebutan kekuasaan, krisis kepercayaan publik, hingga lemahnya solidaritas antarwarga — kita seolah menyaksikan pola yang berulang dalam sejarah: masa kejayaan, lalu kemunduran.
Dalam situasi seperti ini, pemikiran Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan Muslim abad ke-14, terasa sangat relevan untuk dijadikan cermin dan pelajaran.
Melalui karya monumentalnya Muqaddimah, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa peradaban akan maju jika masyarakat memiliki ‘ashabiyyah (solidaritas sosial) dan akan runtuh ketika keadilan serta kebersamaan melemah. Prinsip inilah yang bisa menjadi solusi bagi banyak persoalan kebangsaan masa kini.
Tulisan ini berupaya menghadirkan gambaran besar perjalanan hidup Ibnu Khaldun dalam menempuh pahit manis kehidupan, yang penulis usahakan sesempurna mungkin.
Adapun isi tulisan ini merujuk pada buku Biografi Ibnu Khaldun: Perjalanan dan Karya Sang Bapak Sosiologi Dunia karya Muhammad Abdullah Enam, yang menguraikan secara rinci kisah hidup dan pemikirannya.
Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Ibnu Khaldun lahir pada 27 Mei 1332 M (732 H) di Tunis, Afrika Utara. Keluarganya berasal dari Hadramaut (Yaman) dan termasuk keluarga terpandang yang hijrah ke Andalusia (Spanyol Islam) pada masa kejayaan Islam di sana.
Setelah kekuasaan Islam di Andalusia mulai melemah, keluarga ini kemudian pindah ke Afrika Utara dan menetap di Tunisia.
Keluarganya dikenal sebagai keluarga ulama, pejabat, dan cendekiawan. Ayahnya, Muhammad bin Khaldun, adalah seorang ahli ilmu agama yang juga berperan dalam mendidik Ibnu Khaldun di masa kecil.
Dari sang ayah, Ibnu Khaldun belajar Al-Qur’an, hadis, fiqih, nahwu, dan balaghah, yang menjadi dasar kuat bagi kecerdasannya kelak.
Pendidikan dan Kecerdasan Awal
Sejak kecil, Ibnu Khaldun sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia menghafal Al-Qur’an di usia muda dan mendalami berbagai cabang ilmu seperti bahasa Arab, ilmu kalam, logika (mantiq), dan filsafat.
Ia berguru kepada sejumlah ulama besar di Tunisia seperti al-‘Abili dan al-Misri yang memperkenalkan pemikiran filsafat Yunani klasik, terutama karya-karya Aristoteles dan Plato.
Selain itu, ia juga mempelajari ilmu politik dan sejarah dari realitas sosial yang berkembang di sekitarnya.
Tunisia saat itu berada dalam pusaran politik yang kompleks antara berbagai dinasti Islam di Afrika Utara.
Situasi ini menumbuhkan rasa ingin tahu Ibnu Khaldun terhadap sebab-sebab naik turunnya suatu pemerintahan, yang kelak menjadi inspirasi utama karyanya.
Karier Politik dan Pengalaman Hidup
Pada usia muda, Ibnu Khaldun sudah terlibat dalam pemerintahan. Ia memulai karier sebagai sekretaris di istana Sultan Tunisia.
Namun, situasi politik yang tidak stabil memaksanya berpindah-pindah dari satu dinasti ke dinasti lain.
Ia pernah bekerja di bawah pemerintahan Mariniyah di Maroko, Hafshiyah di Tunisia, Abd al-Wad di Tlemcen (Aljazair), hingga Nasriyah di Granada (Spanyol Islam).
Selama bertahun-tahun, ia mengalami intrik, pengkhianatan, dan pergulatan kekuasaan yang membuatnya jenuh dengan politik.
Pada tahun 1375 M, Ibnu Khaldun memutuskan untuk meninggalkan kehidupan pemerintahan dan menyepi di Kastil Ibnu Salamah (dekat Oran, Aljazair).
Di tempat sunyi inilah ia menulis karya besarnya yang kemudian mengguncang dunia ilmu pengetahuan —Muqaddimah.
Lahirnya Muqaddimah: Fondasi Ilmu Sosiologi
Selama empat tahun masa uzlah (pengasingan diri), Ibnu Khaldun menulis Muqaddimah sebagai pengantar bagi karya sejarah besarnya Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wal Khabar.
Namun, Muqaddimah justru menjadi karya yang paling monumental karena memuat pemikiran yang jauh melampaui zamannya.
Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa masyarakat memiliki hukum dan pola perkembangan yang bisa dipelajari secara ilmiah, layaknya hukum alam.
Ia memperkenalkan konsep ‘Ashabiyyah (solidaritas sosial) sebagai kekuatan penggerak utama lahir dan runtuhnya suatu peradaban.
Menurutnya, ketika solidaritas sosial suatu kelompok kuat, mereka mampu mendirikan negara dan membangun peradaban.
Namun, ketika kemewahan dan kezaliman merajalela, solidaritas itu melemah dan peradaban pun hancur.
Konsep ini menjadi cikal bakal ilmu sosiologi modern — berabad-abad sebelum Auguste Comte (Bapak Sosiologi Barat) lahir.
Karena itu, banyak ilmuwan Barat seperti Arnold Toynbee dan Franz Rosenthal mengakui Ibnu Khaldun sebagai “the real father of sociology and historiography”.
Perjalanan ke Timur dan Kehidupan di Mesir
Setelah menulis Muqaddimah, Ibnu Khaldun melanjutkan perjalanannya ke Timur. Pada 1382 M, ia tiba di Mesir, yang saat itu diperintah oleh Dinasti Mamluk.
Di sana, ia disambut dengan penuh penghormatan dan diangkat sebagai guru besar di Universitas al-Azhar serta hakim agung (qadhi al-qudhah) mazhab Maliki.
Selama di Mesir, Ibnu Khaldun banyak mengajar, menulis, dan memantapkan karier intelektualnya. Ia sempat juga melakukan perjalanan ke Damaskus untuk bertemu dengan Timur Lenk (Tamerlane), penguasa besar Asia Tengah.
Pertemuan ini menunjukkan keluasan wawasannya dan kemampuannya berdiplomasi, sebab meski Timur Lenk dikenal keras, ia menghormati Ibnu Khaldun karena kecerdasannya.
Baca juga:
Akhir Hayat dan Wafat
Ibnu Khaldun menghabiskan sisa hidupnya di Mesir sebagai guru dan hakim. Ia wafat pada 17 Maret 1406 M (808 H) di Kairo pada usia 73 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Bab al-Nasr, Mesir.
Meski telah tiada, pengaruh dan warisan pemikirannya terus hidup hingga kini. Muqaddimah telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia, termasuk Inggris, Prancis, dan Indonesia. Karyanya menjadi rujukan utama dalam bidang sosiologi, ekonomi, sejarah, dan politik.
Pemikiran dan Warisan Intelektual
Warisan terbesar Ibnu Khaldun terletak pada kemampuannya menggabungkan agama, filsafat, dan realitas sosial ke dalam satu kesatuan ilmu yang sistematis.
Beberapa sumbangsih pentingnya antara lain:
1. Konsep ‘Ashabiyyah (Solidaritas Sosial):
Menjadi fondasi analisis sosial yang menjelaskan mengapa peradaban muncul dan hancur.
2. Teori Siklus Peradaban:
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa setiap negara memiliki siklus: lahir, berkembang, mencapai puncak, lalu menurun dan hancur.
3. Metodologi Ilmiah dalam Sejarah:
Ia menolak penulisan sejarah yang sekadar mencatat peristiwa tanpa analisis sebab-akibat. Sejarah, menurutnya, harus dianalisis secara rasional dan empiris.
Baca Juga:
4. Konsep Ekonomi dan Pajak:
Ibnu Khaldun menulis tentang hubungan antara pajak, produktivitas, dan kemakmuran — gagasan yang kemudian mirip dengan “Laffer Curve” dalam ekonomi modern.
Peninggalan dan Kenangan
Selain Muqaddimah, karya lengkap Ibnu Khaldun yaitu:
- Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wal Khabar (sejarah universal)
- Lubab al-Muhassal (ringkasan ilmu kalam)
- At-Ta‘rif bi Ibni Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan (autobiografi Ibnu Khaldun)
Karya-karya itu menjadi saksi betapa luasnya wawasan dan kedalaman analisisnya terhadap kehidupan manusia.
Hingga kini, banyak universitas di dunia — dari Al-Azhar hingga Sorbonne — menjadikan pemikiran Ibnu Khaldun sebagai bahan kajian serius.
Ibnu Khaldun bukan hanya seorang sejarawan, melainkan filosof sosial, ekonom, dan pemikir besar umat manusia. Ia berhasil menjembatani ilmu agama dan ilmu sosial dengan cara yang elegan dan ilmiah.
Melalui Muqaddimah, ia mengajarkan bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi cermin bagi masa depan.
Warisan intelektualnya menegaskan bahwa Islam memiliki tradisi ilmiah yang sangat maju.
Maka tak berlebihan bila dunia mengenalnya sebagai Sang Bapak Sosiologi — seorang pemikir dari abad ke-14 yang ide-idenya tetap relevan di abad ke-21.
* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.
Referensi:
- Biografi Ibnu Khaldun: Kehidupan dan Karya Bapak Sosiologi Dunia, Muhammad Abdullah Enam, Zaman.





2 Komentar