Dakwah di Simpang Jalan: Antara Seruan Ilahi dan Godaan Popularitas

Pengembara Ilmu
By -
0

Pemuda muslim memilih antara jalan dakwah yang ikhlas dan jalan popularitas yang penuh godaan dunia.
Dakwah di Persimpangan: Ikhlas dan Ilmu atau Popularitas dan Materi?


Apa Itu Dakwah?

Dakwah—secara harfiah berarti panggilan atau ajakan—adalah tugas mulia yang diwariskan dari para nabi. 


Dakwah bukan sekadar berbicara tentang agama, tetapi mengajak manusia kepada Allah, menuju kebaikan, meninggalkan keburukan, dan mengarahkan hati pada kebenaran. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ  

"Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik..." (QS. An-Nahl 125)

Namun realitas dakwah di era digital menunjukkan banyak wajah baru yang tak selalu sejalan dengan semangat ayat ini, kita perlu bertanya ulang: masihkah dakwah berjalan sebagaimana mestinya?


Penyimpangan Dakwah di Era Media Sosial: Di Balik Popularitas dan Materi

Dakwah kini telah masuk ke berbagai media digital. Di satu sisi ini kabar baik. Tapi di sisi lain, dakwah juga mengalami pergeseran makna dan niat. Beberapa fenomena menyimpang yang kini ramai terjadi antara lain:


Baca Juga: Penyimpangan Jalan Dakwah


1. Dakwah Dijadikan Konten

Perbandingan antara dakwah di media sosial demi popularitas dan dakwah sejati yang fokus pada cinta Al-Qur'an dan keikhlasan.
Dakwah Media Sosial vs Dakwah Sejati: Antara Popularitas dan Cinta Al-Qur'an


Kita menyaksikan bagaimana ceramah dijadikan konten untuk mengejar views dan adsense. Bahkan, film-film bertema agama yang berbalut "kesedihan spiritual" atau "kritik sosial bertopeng agama" justru menyuguhkan bid’ah, cerita fiktif, dan tokoh utopis, yang mengaburkan antara dakwah dan drama. Beberapa konten viral justru menjual islamisasi kemiskinan atau kesabaran yang keliru, tanpa fondasi syar'i yang kuat.


2. Fenomena "Gus-gus-an"

Gelar “Gus” sejatinya adalah panggilan kehormatan bagi putra kiai di lingkungan pesantren, dan patut dihormati. Namun, yang disorot di sini adalah fenomena oknum yang menyandang gelar itu demi branding atau popularitas, bukan karena kapasitas keilmuan.


Mereka tampil lebih sebagai influencer agama, membawakan ceramah dengan candaan, komentar politik, atau sindiran kepada sesama ulama, lalu menyebarkannya di TikTok atau YouTube demi jempol dan pujian.


3. Dakwah yang Tergadai oleh Sponsor

Seorang dai berceramah di depan kamera dengan latar sponsor dan iklan, mencerminkan tantangan dakwah di era monetisasi konten.

Dilema Dai Modern: Antara Seruan Dakwah dan Godaan Sponsor


Banyak ustaz seleb dibentuk oleh manajemen, bukan oleh madrasah. Tampil jika dibayar, hadir jika menguntungkan. Bahkan tak sedikit yang mempromosikan produk tertentu di sela-sela ceramah agama, seakan ayat bisa didampingi iklan. Ini adalah bentuk komersialisasi risalah, yang bertentangan dengan tradisi keikhlasan para ulama salaf.

Namun penting untuk dipahami, menerima upah dalam dakwah bukan hal yang terlarang. Para ulama membolehkan seorang guru atau dai mengambil ujrah (upah) atas ilmu yang diajarkan. Itu adalah bentuk penghargaan terhadap usaha, bukan cela.


Yang keliru adalah ketika upah menjadi niat utama. Saat dakwah berubah menjadi ladang cuan, maka pesan yang disampaikan pun kehilangan keberkahan. Ikhlas dalam berdakwah bukan berarti menolak bayaran, tetapi tidak menjadikan bayaran sebagai orientasi.


Saya Menulis Ini, Lalu Saya Sendiri Siapa?

Jujur saja, saya pun sedang bertanya kepada diri sendiri: apakah tulisan ini benar-benar untuk berdakwah? Ataukah saya, seperti mereka yang saya kritik, juga mengincar peluang klik, kunjungan, dan barangkali sedikit penghasilan dari blog atau platform?


Saya ingin pembaca ikut berpikir. Jika saya menyentuh nurani Anda dengan tulisan ini—apakah itu dakwah? Jika tulisan ini di-share ke banyak grup, apakah saya sudah menjalankan misi para nabi? Ataukah diam-diam saya berharap ini viral dan membuka peluang monetisasi?


Inilah realitas yang harus kita waspadai: bahwa dakwah bisa saja dipakai untuk sesuatu selain Allah, bahkan tanpa kita sadari.


Baca Juga: Keluarga VS Media Sosial

Lalu, Apa Kita Tak Boleh Berdakwah di Media Sosial?

Tentu bukan itu maksudnya.

Kita hidup di era kompetisi konten. Maka berdakwah di media sosial bukan hanya boleh, tapi penting—bahkan sangat dibutuhkan! Justru kita harus bersaing dengan mereka yang setiap hari memposting hal-hal yang tidak bermanfaat: goyangan tanpa makna, lawakan cabul, hingga pamer aurat.


Jika orang-orang berlomba menampilkan kebatilan, maka kita tidak boleh kalah dalam menampilkan kebenaran.


Yang harus dijaga adalah niat dan substansi dakwah itu sendiri. Jangan sampai kita berdakwah dengan cara yang justru menyerupai apa yang kita lawan. Jangan sampai kita berbuat atas nama Allah, tapi yang kita cari hanyalah sorotan kamera.


Ayo Kembali ke Jalan Dakwah yang Lurus



Dakwah adalah ibadah, bukan industri. Ia bukan tentang seberapa banyak yang mendengar, tetapi seberapa banyak yang mendapat hidayah. Kita harus kembali kepada semangat para ulama dahulu yang berdakwah dengan ilmu, adab, dan keikhlasan.


Mari kita jaga kemurnian dakwah dari penyakit popularitas dan cinta dunia. Dan mari kita jujur menakar niat kita masing-masing—apakah benar kita menyeru kepada Allah, atau sebenarnya sedang memanggil manusia kepada diri kita sendiri?

"Barangsiapa menyeru kepada Allah demi dunia, maka ia telah menipu manusia atas nama agama." – Hasan al-Bashri.


Baca Juga:  Berbagi Prestasi di Media Sosial: Antara Kebanggaan dan Empati


 *  Tulisan ini bukan kritik, tapi ajakan untuk merenung dan menjaga niat dalam berdakwah di tengah        arus digital.


* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.


Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*