Berbagi Prestasi di Media Sosial: Antara Kebanggaan dan Empati

Pengembara Ilmu
By -
0


Di era digital, sosial media telah menjadi panggung utama untuk mengekpresikan perasaan, membagikan momen, dan merayakan pencapaian, mulai dari kelulusan, juara lomba, hingga nilai rapor yang memuaskan—semuanya kerap dibagikan sebagai bentuk rasa syukur dan kebanggaan, terutama oleh orang tua terhadap anaknya.


Namun, seiring dengan meningkatnya budaya "share everything", muncul pula dinamika sosial yang lebih kompleks: bagaimana perasaan orang lain yang membaca unggahan itu? Bagaimana jika dalam satu grup keluarga, prestasi salah satu anak disorot begitu terang, sementara yang lain nyaris tak disebut?


Dalam konteks ini, penting untuk menyeimbangkan antara kebanggan yang wajar dan empati sosial, terutama di ruang digital yang bisa menjangkau banyak hati dalam waktu singkat.


Kebanggaan adalah Hak, Tapi Empati adalah Kewajiban

Bangga kepada anak sehingga mengabaikan perasaan orang lain

Tidak ada yang salah dengan bangga terhadap anak sendiri. Namun, perlu disadari bahwa sosial media atau grup keluarga di WhatsApp sering kali memiliki anggota dengan latar belakang dan kondisi berbeda. Di antara mereka mungkin ada yang sedang berjuang dalam akademik, mengalami kegagalan, atau merasa tak cukup "dibanggakan".

Maka dari itu, sebelum membagikan, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah ini akan memberi semangat bagi orang lain, atau justru tanpa sadar membuat mereka merasa tertinggal?"


Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأٓخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَصْمُتْ.

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari & Muslim)


Kalimat ini sederhana, namun dalam: tidak semua hal perlu diumumkan, apalagi jika kita tidak yakin dampaknya baik bagi yang lain.


Inilah pentingnya memahami dampak dari setiap unggahan yang kita buat—terutama saat ada potensi melukai perasaan tanpa sengaja.


Berbagilah dengan Tujuan yang Mendidik, Bukan Sekadar Pamer

Jika ingin berbagi prestasi, arahkan narasinya agar menginspirasi, bukan sekadar glorifikasi. Contonya:

Dari pada menulis: "Alhamdulillah, anakku ranking satu lagi. Memang dari kecil sudah juara terus...."


Lebih baik: "Alhamdulillah, berkat doa dan usaha, anak kami berhasil masuk peringkat teratas. Ini jadi pengingat untuk terus belajar dengan rendah hati. Semangat juga untuk yang masih berproses!"


Dengan begitu, kebanggan tetap tersampaikan, tapi ada ruang bagi yang lain untuk merasa dihargai dan termotivasi.


Jangan Lupa Bertanya: Anak Nyaman Gak, Sih?

Penting bagi orang tua untuk sadar bahwa tidak semua anak nyaman dijadikan sorotan, apalagi di ruang publik digital. Bagi sebagian anak, dipuji secara terbuka justru menimbulkan tekanan sosial dan rasa risih. Lebih jauh lagi, mereka bisa merasa tidak enak karena perhatian hanya tertuju pada dirinya, seolah yang lain tidak punya pencapaian yang layak diapresiasi.

Orang tua bisa mulai bertanya:

"Boleh gak, Ayah posting ini ke grup keluarga?"

Hal sepele ini bisa jadi bentuk penghormatan terhadap privasi dan kenyamanan anak.


Baca Juga: Keluarga VS Media Sosial: Strategi Islami Hadapi Tantangan Digital


Bangga secukupnya, Perhatian Merata

Mendidik keluarga besar untuk memiliki budaya saling dukung, bukan saling banding, juga penting. Apresiasi satu orang, namun jangan lupakan perhatian kepada yang lain—meski belum punya pencapaian serupa.

Misalnya, jika satu anak ranking satu, bisa juga sampaikan kabar baik tentang anak lain yang punya bakat di bidang seni, olahraga, atau kebaikan sosial. Dengan begitu, setiap anak merasa dihargai dengan keunikan masing-masing.


Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 11:

...لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓ اَنْ يَّكُوْنُوا خَيْرًا مِنْهُمْ.

"Janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka lebih baik dari mereka." (QS. Al-Hujurat: 11)


Meski tidak secara eksplisit merendahkan, kadang sebuah pujian berlebihan kepada satu orang bisa membuat yang lain merasa dikecilkan.


Dalam laporan Pew Research Center (2022), ditemukan bahwa 47% pengguna sosial media merasa tertekan karena merasa hidup mereka tertinggal saat melihat unggahan prestasi atau kebahagiaan orang lain. ini menunjukkan bahwa niat baik kita bisa berbalik menjadi beban bagi orang lain jika tidak disampaikan dengan bijak.

Keluarga adalah penyemangat bagi anggotanya


Bijak Bersosial Media adalah Cermin Kedewasaan

Berbagi prestasi boleh, tapi hendaknya dengan rasa hormat dan empati terhadap orang lain. Dunia digital bukan sekadar tempat untuk menampilkan diri, tapi juga ruang untuk menumbuhkan kesadaran bahwa di balik setiap unggahan, ada hati yang bisa ikut senang—atau mungkin, tanpa sengaja terluka.

Bijak bersosial media bukan soal teknis, tapi soal empati. Dunia digital memberi kita peluang untuk menebar manfaat, bukan sekadar pamer diri.


Karena sebagaimana sabda Nabi SAW:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." (HR. Ahmad)


Maka mari bertanya sebelum membagikan: “Adakah unggahan ini membawa kebaikan, atau justru melukai tanpa sadar?”


* Tulisan ini disusun sebagai ajakan refleksi, bukan kritik atau penghakiman. Di tengah budaya berbagi di era digital, mari bersama-sama belajar menjadi lebih bijak dan empatik, agar setiap unggahan membawa kebaikan tanpa tanpa sengaja melukai. Semoga tulisan ini menjadi pengingat yang membangun bagi kita semua.


* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.



Referensi:
  • Al-Qur'an: QS. QS. Al-Hujurat: 11
  • Hadis: HR. Ahmad no. 13202, HR. Bukhari no. 6018, HR. Muslim no. 47
  • Pew Research Center. (2022, May 4). Teens, social media and technology 2022
Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*