Kontroversi Pixel Helper: Antara Ekspresi dan Penistaan

Pengembara Ilmu
By -
0

 إِنَّ أَوَّلُ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وّهُدًى لِّلْعَالَمِيْنَ 

"Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam"

 (QS. Ali Imran: 96).


Ka'bah sebagai simbol suci umat Islam
Ka'bah rumah ibadah pertama umat Muslim


Pernahkah kamu merasa diam-diam dihina, tapi oleh orang yang bahkan tidak kamu kenal—dari jauh, di layar ponselmu? Itulah perasaan jutaan umat Muslim ketika beberapa waktu lalu sebuah akun Instagram bernama Pixel Helper, yang berbasis di Jerman, memposting replika Ka'bah yang dibungkus warna pelangi. Mereka menyebutnya "safe space" untuk Muslim LGBT dan menyandingkannya dengan ritual haji simbolik.

Baca Juga: Heboh! Siapa Pemilik Akun Instagram Pixel Helper? Viral Ka'bah Diedit dengan Pesan Kontroversial LGBT


Bagi sebagian orang mungkin terlihat "artistik", tapi bagi umat Islam, itu adalah bentuk penistaan. Karena Ka'bah bukan sekadar bangunan batu hitam di Makkah. Ia adalah pusat ibadah, arah shalat, simbol penyatuan umat—yang disebut Al-Qur'an sebagai "rumah pertama yang dibangun untuk manusia, penuh berkah dan petunjuk bagi semesta" (QS. Ali Imran: 96). Mempolitisasi atau memodifikasinya untuk kepentingan ideologi tertentu, apalagi bertentangan dengan ajaran Islam, bukanlah kreativitasmelainkan tindakan yang dipandang sebagai bentuk penistaan agama oleh banyak umat Muslim.


LGBT: Bukan Sekadar Identitas, Tapi Agenda


Secara umum, LGBT adalah akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Di Barat, gerakan ini dikampanyekan sebagai bentuk kebebasan orientasi dan identitas gender. Namun dalam pandangan Islam, praktik homoseksual jelas-jelas diharamkan, sebagaimana disebut dalam kisah Nabi Luth AS (QS. Al-A'raf: 80-81) yang diazab karena melakukan hubungan sejenis yang menyimpang dari fitrah.

Sayangnya, sebagian aktivis LGBT hari ini tidak hanya menuntut penerimaan, namun juga berupaya mengaitkan simbol-simbol keagamaan dengan narasi perjuangan mereka—bahkan ketika hal itu bertentangan dengan ajaran agama yang bersangkutan. Kasus Pixel Helper menunjukkan upaya seperti ini: bukan sekadar perbedaan pandangan, tetapi bentuk pelanggaran terhadap simbol paling suci dalam Islam. Maka, ini tidak lagi semata soal ekspresi, namun menjadi tantangan terhadap nilai-nilai keimanan dan kesucian ajaran.


Ketika Simbol Suci Dipermainkan

Akun Instagram @pixelhelper (tangkapan layar akun @pixelhelper
Postingan Pixel Helper


Pixel Helper menciptakan replika Ka'bah, membalutnya dengan warna pelangi LGBT, lalu menyebutnya sebagai "tempat suci simbolik" untuk Muslim LGBT di Eropa. Tapi simbol itu bukan milik budaya pop atau aktivisme. Ka'bah adalah rumah Allah, kiblat bagi dua miliar Muslim. Melecehkannya—terutama dengan menyandingkannya bersama sesuatu yang telah dilarang secara tegas dalam Islam—adalah tindakan yang sulit dibenarkan, meskipun diklaim sebagai bagian dari ekspresi seni atau toleransi.

Padahal, Islam sendiri mengajarkan untuk tidak mencela agama lain (QS. Al-An'am: 108), sebagai bentuk penghormatan lintas keyakinan. Lantas mengapa justru Islam yang terus dijadikan sasaran "eksperimen seni" yang melukai keyakinan umat?


Ini Bukan Sekadar Postingan

Replika yang di buat oleh Pixel Helper
Ilustrasi replika yang dibuat Pixel Helper


Satu unggahan bisa menorehkan luka dalam. Laporan Setara Institute (2023) mencatat peningkatan penistaan agama lewat media sosial di Indonesia hampir 20%. Meski data ini khusus Indonesia, fenomena serupa terjadi di berbagai negara, menunjukkan bahwa penistaan agama di ranah digital adalah isu global yang perlu perhatian. Ini bukan sekadar soal tersinggung, tapi soal etika universal antarumat beragama.

Baca: SETARA INSTITUTE CATAT 329 PELANGGARAN KBB SEPANJANG 2023


Pixel Helper memang berdalih atas nama seni dan kebebasan berekspresi. Tapi sejak kapan kebebasan berarti bebas menghina keyakinan umat? Aksi mereka bukanlah ketidaksengajaan—itu dirancang, dipoles visualnya, lalu disebar ke publik dengan penuh kesadaran.

Ka’bah, simbol paling sakral umat Islam, dijadikan representasi oleh pihak tertentu untuk mengusung narasi yang bertentangan dengan nilai-nilai syariat. Lebih memprihatinkan adalah mereka menyisipkan pesan terselubung seolah-olah LGBT dan Islam bisa berjalan seiring. Ini bukan sekadar kesalahan konseptual, namun berpotensi menyesatkan dan menodai kesucian agama.

Islam dengan tegas menolak perilaku LGBT sebagai penyimpangan dari syariat dan fitrah manusia. Membalut penyimpangan itu dengan simbol suci bukan bentuk toleransi—itu penghinaan yang mencederai hati jutaan Muslim di seluruh dunia.


Pandangan Islam Terhadap Penistaan Agama

Dalam Islam, tindakan seperti ini dikenal sebagai sabb ad-dīn (penghinaan terhadap agama), yang merupakan dosa besar. Tidak hanya mencederai nilai-nilai ilahiah, tetapi juga dapat mengantarkan pelakunya kepada kekufuran jika dilakukan dengan sadar dan sengaja.

Karena itu, para ulama dari berbagai mazhab menegaskan bahwa penistaan terhadap Islam bukan perkara ringan, mereka tidak hanya mengecam tindakan tersebut, tetapi juga merumuskan hukumnya secara tegas, sebagaimana terlihat dalam pandangan berikut:

1. Imam An-Nawawi

من سبّ الله تعالى، أو سبّ رسول الله صلى الله عليه وسلم، أو سبّ الإسلام، كفر كفراً صريحاً.


"Barang siapa menghina Allah Ta‘ala, atau Rasulullah SAW, atau Islam, maka ia telah kafir dengan kekafiran yang nyata."

2. Imam Ar-Rafi'i

من شتم النبي صلى الله عليه وسلم أو انتقصه فهو كافر.

"Barang siapa mencela Nabi SAW atau meremehkannya, maka ia adalah kafir."

3. Imam Al-Mawardi

وإذا ظهر من الذمي سب النبي صلى الله عليه وسلم وجب قتله إن لم يسلم.

"Jika seorang dzimmi (non-Muslim yang hidup dalam lindungan negara Islam) menampakkan celaan kepada Nabi SAW, maka wajib dibunuh jika ia tidak masuk Islam."

4. Imam As-Subki

السبّ لله تعالى أو لرسوله صلى الله عليه وسلم كفر وردة بلا خلاف

"Mencela Allah Ta‘ala atau Rasul-Nya SAW adalah kekufuran dan murtad tanpa ada khilaf."

Dari berbagai pandangan di atas, tampak jelas bahwa para ulama memandang penistaan agama sebagai tindakan yang sangat serius dan tak boleh dibiarkan.

Namun perlu diingat, Dalam konteks hukum negara modern, penerapan hukuman atas penistaan agama tidak dapat dilakukan oleh individu, tetapi melalui lembaga peradilan resmi dengan tetap mengedepankan asas keadilan dan hukum positif yang berlaku.


Maka, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Bukan berarti kita harus membalas dengan kemarahan buta. Rasulullah SAW memberi contoh luar biasa: saat dihina, beliau memilih doa dan harapan. Tapi bukan berarti kita tinggal diam. Laporkan konten seperti itu, edukasi masyarakat soal pentingnya menghormati agama, dan terus suarakan keberatan secara santun tapi tegas. Di era digital ini, diam berarti setuju. Membiarkan simbol suci direndahkan, bisa menjadi awal dari pudarnya izzah dan kesadaran kolektif umat.

Karena menjaga kehormatan agama bukan hanya tugas ulama atau aktivis dakwah. Tapi tugas kita semua—umat yang hatinya masih bergetar ketika simbol sucinya dipermainkan.


Tulisan ini bertujuan sebagai refleksi keagamaan atas fenomena yang menyinggung kesucian simbol Islam. Kritik ditujukan pada tindakan, bukan pada individu atau kelompok tertentu.


* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.


Referensi

Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*