Cinta yang Membuat Allah Turut Menyapa

Pengembara Ilmu
By -
0

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang beriman"
(Qs.Ali Imran: 78)

Ilustrasi Abu Bakar Ash-Shiddiq

Cinta bukan sekadar rasa. Ia adalah pengorbanan, keikhlasan, dan keberanian untuk berdiri tegak di sisi yang benar, meski harus melawan arus dunia. Di tengah hiruk pikuk cinta yang banyak diwarnai nafsu dan kepalsuan, ada satu kisah cinta yang begitu tulus hingga membuat Allah turun tangan... menyampaikan salam.

Kehormatan Mendapat Salam dari Allah

Pernahkah kita membayangkan seperti apa rasanya mendapat salam langsung dari Allah SWT?

Sebuah kehormatan yang luar biasa, dan hanya orang-orang pilihan yang layak menerimanya. Salah satunya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu-sahabat paling setia Rasulullah SAW.

Siapa yang tak kenal Abu Bakar? Ia bukan sekedar teman dekat Rasulullah, tapi juga orang pertama dari kalangan laki-laki dewasa yang memeluk Islam.

Julukan Ash-Shiddiq diberikan kepadanya karena imannya yang kokoh dan keyakinannya yang tak tergoyahkan, terutama ketika ia membenarkan peristiwa agung Isra Mi'raj, saat banyak orang yang meragukan kebenaran Rasulullah SAW.

Abu Bakar Ash-Shiqqid orang yang pertama membenarkan peristiwa Isra Mi'raj
Abu Bakar Ash-Shiddiq mencintai Allah

Dalam satu kesempatan yang menggetarkan hati, Rasululah SAW sedang berada dirumah Aisyah radhiyallahu 'anha.

Tiba-tiba Jibril turun membawa wahyu dan dalam momen yang agung itu, ia menyampaikan sesuatu yang istimewa sehingga Rasulullah SAW berkata kepada Aisyah: 
"Wahai Aisyah, panggillah ayahmu kemari. Sesungguhnya Allah menyampaikan salam untuknya"

Bayangkan, sahabat...Allah, Sang Pencipta langit dan bumi, menyampaikan salam kepada seorang hamba-Nya. Ketika Abu Bakar datang, Rasulullah pun berkata kepadanya:
"Wahai Abu Bakar, sesungguhnya Allah menyampaikan salam untukmu."(HR. al-Hakim, disahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah, no. 819)

Abu Bakar terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menjawab dengan penuh ketundukan dan rasa syukur:
"Allah yang Maha Sempurna, Maha Damai, dari-Nya datang keselamatan. Dan kepada-Nya kembali segala keselamatan. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."

Sungguh, ini bukan sekadar salam—ini adalah bentuk cinta Ilahi kepada hamba-Nya yang benar-benar tulus. Tapi tentu kita bertanya, apa yang membuat Abu Bakar begitu dicintai oleh Allah?. Apa yang menjadikannya begitu istimewa hingga mendapat salam langsung dari Sang Pencipta?

Inilah yang membawa kita pada inti dari semuanya, cinta yang murni, cinta yang tulus, cinta yang tak menyisakan ruang bagi dunia—cinta Abu Bakar kepada Allah dan Rasul-Nya.

Cinta Abu Bakar yang Murni Tanpa Batas

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menjelaskan bahwa cinta sejati tidak bisa sekadar diucapkan. Ia menuntut bukti. Ia menuntut kerelaan untuk kehilangan apa pun demi yang dicintai.

"Cinta sejati itu membuat seseorang rela melepaskan sebagian-bahkan seluruh haknya demi Sang Kekasih. Sebagaimana seseorang yang bersedia memberikan separuh, sepertiga, atau sepersepuluh dari hartanya, maka besarnya pengorbanan itulah timbangan cintanya." (Ihya 'Ulum al-Din, Jilid 2 Bab Makna Cinta Pada Allah).
mendapat salam dari Sang Pencipta
Abu Bakar sebagai sosok yang dermawan

Cinta seperti inilah yang menjadi pondasi utama kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Cinta yang tidak bersyarat. Bukan karena kedudukan, bukan karena harta, bukan pula karena imbalan. Melainkan karena hati yang telah tenggelam dalam keimanan dan rasa syukur yang mendalam kepada Sang Kekasih.

Ia tidak hanya mengucapkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi membuktikannya. Tanpa ragu Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya demi perjuangan Islam, tanpa menyisakan apa pun untuk dirinya sendiri. Ia bahkan menyerahkan putri yang sangat ia cintai untuk menjadi istri Rasulullah ik SAW—semua karena cintanya yang jernih dan murni kepada Allah dan Rasul-Nya.


Ditambah pula cinta Abu Bakar tidak berhenti pada kelapangan. Ia juga diuji dalam kefakiran. Dalam Ihya 'Ulum al-Din, diceritakan bahwa suatu hari Rasulullah SAW duduk bersama Abu Bakar yang mengenakan jubah kasar yang dijahit dengan peniti dari kayu. Sebuah pemandangan yang sangat sederhana bagi seorang sahabat utama. Kemudian datanglah Jibril 'alaihissalam dan berkata kepada Nabi SAW:

"Wahai Rasulullah, kenapa aku melihat Abu Bakar mengenakan pakaian yang dijahit dengan peniti?"

Nabi menjawab:

"Ia telah menginfakkan semua hartanya kepadaku sebelum Fathu Makkah."

Lalu Jibril berkata:

"Sampaikan padanya: 'Apakah engkau ridha kepada Allah dalam keadaan fakirmu ini, atau engkau marah?'"

Rasulullah menyampaikan hal itu kepada Abu Bakar:

"Wahai Abu Bakar. Ini Jibril, menyampaikan salam dari Allah kepadamu dan berfirman: 'Apakah engkau ridha kepada-Ku dalam keadaan fakirmu ini, atau engkau marah?'"

Rasulullah dan para sahabat dalam majelis ilmu
Ilustrasi Para Sahabat dalam Majelis

Mendengar hal ini Abu Bakar menangis dan berkata:

"Bagaimana mungkin aku marah kepada Tuhanku? Aku ridha. Aku ridha."(Hadis Ibnu 'Umar, tersebut dalam karya Imam Al-Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din, Juz 2 bab Makna Cinta Pada Allah).

Inilah cinta yang tidak sekadar kata, tapi nyata dalam pengorbanan. Cinta yang tumbuh dari iman, diuji oleh kefakiran, dan dibalas dengan ridha Allah.

Abu Bakar telah mengajarkan kepada kita bahwa puncak cinta adalah kerelaan—rela kehilangan dunia demi Sang Khalik. Dan ketika cinta itu tulus, bahkan kefakiran pun terasa sebagai kehormatan, bukan beban. Maka pantaslah ia mendapatkan salam dan ridha dari Allah, karena cintanya telah sampai pada derajat yang paling tinggi: ridha dalam setiap keadaan.

Dalam karyanya Al-Ghazali juga mengutip sebuah ungkapan yang selaras dengan ini, "Apa gunanya luka, bila itu membuatmu ridha?" - seolah ingin berkata bahwa jika Sang Tercinta ridha, maka rasa sakit pun menjadi manis dan luka tidak lagi terasa perih.

Kata-kata mutiara yang menggambarkan besarnya rasa cita
Ihya 'Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali

Cinta Abu Bakar kepada Allah dan Rasul-Nya adalah bentuk cinta tertinggi yang tumbuh dari keimanan sejati.

Namun, cinta seperti ini tidak hanya terbatas pada hubungan vertikal kepada Allah semata, melainkan juga menjalar pada siapa pun yang berada di jalan-Nya.

Inilah yang kemudian dijelaskan oleh para ulama sebagai bentuk cinta karena Allah—termasuk mencintai orang-orang saleh, alim, dan abid yang memperjuangkan agama-Nya.

Tak heran, para ulama pun menggambarkan cinta yang seperti ini dengan kata-kata yang menyentuh hati, seperti Imam Al-Ghazali yang menyimpulkan:

"Barangsiapa mencintai seorang alim, seorang abid, atau siapa saja yang berada di jalan kebaikan karena Allah, maka sesungguhnya cinta itu untuk Allah. Dan setiap cinta yang ditujukan kepada Allah, akan dibalas dengan pahala sesuai kadar kekuatan cinta itu sendiri."

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Kisah Ini?

Kisah Abu Bakar bukan sekedar potongan sejarah atau cerita mengharukan-ia adalah cermin bagi kita semua, untuk melihat sejauh mana cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa cinta sejati kepada Allah tidak cukup hanya diucap, tapi juga dibuktikan dengan pengorbanan. Abu Bakar tidak hanya berkata "Aku mencintai Allah dan rasul-Nya", tapi ia menyerahkan hartanya, keluarganya, bahkan kenyamanannya demi cinta tersebut.

1. Cinta yang Menyisakan Allah Saja

Ketika cinta kepada Allah memenuhi seluruh ruang hati, maka tidak ada lagi tempat bagi selain-Nya. Inilah yang disebut oleh Imam Al-Ghazali sebagai puncak mahabbah: ketika hati tidak rela mempertahankan apapun jika itu bisa mengurangi kedekatan kepada-Nya.

2. Pengorbanan adalah Ukuran Cinta

Seberapa banyak kita rela berkorban demi Allah, itulah sejauh mana cinta kita sebenarnya. Abu Bakar tidak menyisakan satu dirham pun untuk dirinya. Ini bukan karena ia miskin, tapi karena ia telah merasa cukup dengan Allah.

3. Ridha kepada Takdir Allah adalah Buah dari Cinta

Ketika Jibril menyampaikan pertanyaan Allah "Apakah engkau ridha dalam kefakiranmu ini?", maka jabawan Abu Bakar bukan hanya "Iya", tapi "Aku ridha" sebanyak dua kali. Ia tidak mengeluh, tidak bersedih. Karena yang ia cari bukan dunia, tapi ridha Allah. Dan jika Allah ridha, maka semua terasa cukup.

4. Lembutnya Hati Seorang Pecinta

Hati yang dipenuhi cinta kepada Allah akan menjadi lembut, mudah tersentuh oleh kebaikan, dan cepat menangis karena rasa haru atau syukur. Karena tangisan Abu Bakar bukan karena sedih, tapi karena bahagianya merasa dicintai dan disapa oleh Allah.

5. Cinta Karena Allah, untuk Allah, dan Menuju Allah

Kata Al-Ghazali, mencintai seseorang karena ilmunya, amalnya, atau kesalehannya, sejatinya adalah bentuk cinta kepada Allah. Maka hubungan yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah akan mendatangkan pahala dan keberkahan.


Sahabat Pengembara Ilmu,
Cinta sejati itu tidak banyak bicara. Ia hadir dalam sunyi, dalam air mata, dalam pengorbanan tanpa pamrih. Abu Bakar telah menunjukkan jalan itu. Kini, giliran kita: apakah kita siap meniti jejak cinta yang menyentuh langit?
“Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan karena Allah, maka telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud)

Kisah ini mengajak kita untuk lebih dari sekedar mengagumi. Ia mendorong kita meneladani. Mari kita perkuat iman, luruskan niat, dan siap menjadi pribadi yang Allah cintai.

Jika Abu Bakar bisa menjadi sahabat terbaik Rasulullah SAW, mengapa kita tidak bisa berusaha menjadi hamba terbaik di zaman ini?

* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.


Referensi:
  • Al-Qur'an: QS. Ali Imran:78
  • Hadis: HR. HR. al-Hakim, no. 819, HR. Abu Dawud, no 4833, 
  • Imam al-Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din, Bab Makna Cinta pada Allah
Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*