Jalan ‘Ābid dan ‘Ālim: Meluruskan Pandangan Kewalian dalam Cahaya Biografi Imam al-Ghazālī

اَلَاۤ اِنَّ اَوۡلِيَآءَ اللّٰهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُوۡنَ ۖ ۚ‏

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (QS. Yūnus [10]: 62-63)

Ilustrasi seorang pemuda berjubah dan bersorban berdiri di persimpangan jalan dengan dua papan petunjuk bertuliskan Jalan 'Ābid dan Jalan 'Ālim, melambangkan pilihan antara jalan ibadah dan jalan ilmu setelah menguasai dasar-dasar pengetahuan, terinspirasi dari perjalanan Imam al-Ghazali


Fenomena keagamaan di tengah masyarakat Muslim sering kali melahirkan beragam persepsi tentang siapa sebenarnya yang layak disebut wali Allah. Sebagian orang dengan mudah menganggap seseorang sebagai wali hanya karena penampilannya yang nyeleneh, berpakaian lusuh, atau berperilaku seperti orang “gila dunia.” 


Tidak sedikit yang kemudian mendewakan sosok seperti itu, padahal dalam kesehariannya justru meninggalkan batas-batas syariat, mengenakan pakaian yang tidak pantas, atau bahkan meremehkan kewajiban shalat.


Fenomena ini tentu perlu diluruskan. Sebab, dalam Islam, standar kewalian bukanlah sekadar penampilan luar, melainkan iman dan takwa yang kokoh. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:

اَلَاۤ اِنَّ اَوۡلِيَآءَ اللّٰهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُوۡنَ ۖ ۚ‏

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (QS. Yūnus [10]: 62-63)


Ayat ini menjadi ukuran yang jelas: wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa, bukan sekadar tampil eksentrik atau meninggalkan syariat.


Untuk memahami lebih dalam tentang hubungan antara ilmu (‘ilm), ibadah (‘ibādah), dan kewalian, mari kita belajar dari biografi seorang ulama besar yang dijuluki Ḥujjatul Islām: Imam al-Ghazālī. 


Beliau adalah contoh nyata bagaimana seorang faqīh (‘ālim) yang mendalam ilmunya akhirnya menempuh jalan seorang ‘ābid yang tekun beribadah.


Siapakah Imam al-Ghazālī?

Imam Abū Ḥāmid Muḥammad bin Muḥammad al-Ghazālī (450–505 H/1058–1111 M) adalah salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam. Beliau lahir di Ṭūs, Khurasan (Iran sekarang), dari keluarga sederhana. 


Sejak kecil, al-Ghazālī sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia menuntut ilmu kepada banyak ulama hingga akhirnya berguru kepada Imām al-Ḥaramayn al-Juwaynī, seorang ulama besar di Nisyapur.


Di bawah bimbingan gurunya, al-Ghazālī menguasai berbagai cabang ilmu: ushul fiqh, fikih mazhab Syafi‘i, ilmu kalam, filsafat, logika, hingga tasawuf. 


Kecemerlangan intelektualnya membuat ia dipercaya mengajar di Madrasah Nizāmiyyah Baghdad, salah satu universitas Islam paling bergengsi pada masanya. Di sana, ribuan murid berdatangan untuk belajar darinya, dan reputasinya menjulang tinggi sebagai ulama terkemuka.


Namun, meski berada di puncak popularitas, al-Ghazālī merasakan kegelisahan batin. Ia menemukan bahwa ilmu yang hanya dipahami secara teori belum cukup menenangkan jiwa. 


Dalam karyanya al-Munqidz min al-Ḍalāl, ia menuturkan pergulatan batinnya: rasa hampa yang membuatnya meninggalkan kedudukan, kekayaan, dan popularitas.


Al-Ghazālī kemudian menempuh jalan seorang ‘ābid. Ia beruzlah, memperbanyak dzikir, shalat malam, puasa, dan menyucikan hati dari penyakit duniawi. 


Dari perjalanan ruhani inilah lahir karya monumentalnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, sebuah ensiklopedia yang menyatukan ilmu fikih (‘ilm) dengan penghayatan tasawuf (‘ibādah).


Imam al-Ghazālī: Dari Faqīh Menjadi ‘Ābid

Transformasi Imam al-Ghazālī adalah pelajaran penting: ia tidak menempuh jalan ‘ābid dengan meninggalkan syariat. Justru, ibadahnya semakin sempurna karena berlandaskan ilmu fikih yang matang.

  • Sebagai faqīh (‘ālim): ia menguasai detail hukum syariat, sehingga ibadahnya terarah dan benar.
  • Sebagai ‘ābid: ia merasakan kedalaman spiritual, menjadikan ilmu yang ia miliki bercahaya dalam amal.

Perjalanan ini menunjukkan bahwa seorang ‘ābid sejati adalah juga seorang faqīh, dan seorang faqīh sejati adalah juga seorang ‘ābid. Tidak ada pemisahan antara ilmu dan ibadah, keduanya saling menyempurnakan.


Fenomena Salah Kaprah: Wali Tanpa Syariat?

Sayangnya, fenomena di zaman kita justru berkebalikan. Sebagian masyarakat mudah terpesona dengan sosok yang berpenampilan aneh: berjubah lusuh, berbicara kacau, atau bahkan berpakaian tidak pantas seperti celana pendek yang menyalahi adab Islam. Lalu, dengan cepat ia dipuji sebagai wali, hanya karena dianggap “sudah tidak terikat dunia.”


Padahal, jika ditinjau dari syariat, meninggalkan shalat, meremehkan aurat, atau melanggar hukum Allah tidak mungkin menjadi tanda kewalian. Bagaimana mungkin seseorang disebut dekat dengan Allah, sementara ia menentang aturan-Nya?


Di sinilah relevansi kisah Imam al-Ghazālī: beliau mencapai maqām spiritual tinggi setelah ilmu syariat dikuasai dengan sempurna. Tidak ada jalan pintas menuju kewalian tanpa syariat.

 

Jalan ‘Ālim yang Melahirkan ‘Ābid

Imam al-Ghazālī memberikan teladan bahwa ilmu dan ibadah tidak boleh dipisahkan. Ilmu tanpa ibadah akan kering, sementara ibadah tanpa ilmu akan sesat.

  • Ilmu (‘ilm): memberi peta jalan, agar ibadah sesuai syariat.

  • Ibadah (‘ibādah): menghidupkan ilmu, agar tidak berhenti pada teori.


Dengan fondasi inilah al-Ghazālī menulis Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, sebuah karya yang hingga kini menjadi pedoman kaum Muslimin. Dalam kitab itu, beliau tidak hanya mengajarkan hukum fikih, tetapi juga menghidupkan ruh ibadah, akhlak, dan tazkiyatun nafs.


Meluruskan Pandangan tentang Kewalian

Berdasarkan biografi Imam al-Ghazālī, kita bisa meluruskan pandangan keliru di masyarakat:

  1. Wali tidak pernah menyalahi syariat.
    Siapa pun yang mengaku wali tetapi meremehkan kewajiban shalat, aurat, atau hukum Allah, jelas bukan wali.

  2. Wali lahir dari perpaduan ilmu dan ibadah.
    Imam al-Ghazālī menunjukkan bahwa maqām spiritual tinggi hanya bisa dicapai dengan ilmu yang matang dan ibadah yang khusyuk.

  3. Penampilan lahir bukan ukuran kewalian.
    Seseorang mungkin tampak sederhana, tetapi yang menjadi ukuran adalah iman dan takwanya.

  4. Kewalian sejati membawa manfaat.
    Para wali Allah sejati menghidupkan agama, memberi teladan akhlak, dan membimbing umat.


Relevansi Pelajaran Imam al-Ghazālī di Zaman Sekarang

Di era digital, banyak orang mencari sosok karismatik untuk dijadikan panutan. Sayangnya, tidak sedikit yang tertipu oleh penampilan luar, klaim-klaim spiritual, atau bahkan konten media sosial yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian.


Pelajaran dari Imam al-Ghazālī sangat relevan:

  • Jangan tertipu oleh popularitas atau penampilan aneh.
  • Ukur kewalian dengan iman, takwa, ilmu, dan ibadah.
  • Kembalikan tolok ukur kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Jika masyarakat memahami hal ini, maka tidak mudah lagi mengangkat seseorang menjadi “wali dadakan” hanya karena penampilan eksentrik.


Jalan Menuju Kewalian

Kisah Imam al-Ghazālī mengajarkan bahwa jalan kewalian adalah jalan yang ditempuh melalui ilmu yang benar dan ibadah yang tulus. Ia seorang faqīh yang kemudian menjadi ‘ābid, bukan sebaliknya. Ia tidak meninggalkan syariat, justru semakin kokoh memegangnya.


Maka, kewalian sejati bukanlah milik orang yang berpakaian sembarangan atau meninggalkan syariat, melainkan milik mereka yang:

  • Kokoh dalam iman,
  • Istiqamah dalam takwa,
  • Mendalam dalam ilmu,
  • Khusyuk dalam ibadah.

Inilah ukuran yang harus kita pegang, agar pandangan tentang wali tidak lagi kabur dan keliru.


* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.


Posting Komentar

0 Komentar