Kisah Ibnu Malik dan Kitab Alfiyah: Pelajaran tentang Ujub dan Adab Para Ulama

وَالحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ

"Yang hidup bisa saja mengalahkan seribu yang mati."

Ilustrasi seorang ulama besar bernama Ibnu Mālik sedang menulis dengan pena di atas kitab terbuka, dikelilingi rak buku klasik, menggambarkan dedikasi beliau dalam menyusun Alfiyah — karya monumental dalam ilmu nahwu yang terus dipelajari lintas generasi.
Ilustrasi Ibnu Malik


Siapa tak kenal Alfiyah? Kitab nadham seribu bait ini telah menjelma menjadi cahaya ilmu yang tak kunjung padam. Di berbagai pesantren, madrasah, dan halaqah, bait-baitnya terus dilantunkan, dijelaskan, dan dihafalkan generasi demi generasi.


Disusun oleh seorang maestro gramatika Arab asal Andalusia, al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mālik at-Ṭāʾī (w. 672 H / 1274 M), atau lebih dikenal dengan Ibnu Mālik, Alfiyah adalah intisari dari karya sebelumnya, al-Kāfiyah asy-Syāfiyah. Popularitas dan pengaruhnya tak diragukan — bahkan menumbuhkan lautan syarah, hasyiyah, dan komentar dalam jumlah yang nyaris tak terhitung.


Namun, di balik ketenaran itu, tersimpan satu kisah sunyi — yang mengandung pelajaran adab dan keinsafan.


Saat menulis muqaddimah Alfiyah, Ibnu Mālik sempat menyusun bait yang menyatakan bahwa karyanya melebihi Alfiyah Ibnu Muʿṭī (w. 628 H / 1231 M), seorang ulama Maghribi yang sebelumnya telah menulis nadham serupa. Ia menulis:

فائقةً لها بألفِ بيتٍ ... 

Mengunggulinya (karya Ibnu Muʿṭī) dengan seribu bait...

 

Namun anehnya, bait itu tak kunjung selesai. Ilhamnya terputus. Hari-hari berlalu dalam kehampaan pikiran. Hingga suatu malam, Ibnu Mālik bermimpi. Ia bertemu seseorang yang bertanya:

“Apakah kau tengah menulis Alfiyah nahwu?”
“Benar,” jawabnya.
“Sampai di mana?”
“Fāiqatan lahā bi alfi baitin...”
“Mengapa berhenti?”

“Aku lesu dan kehilangan kekuatan.”

 

Lalu orang itu menyambung bait tersebut:

وَالحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ

"Yang hidup bisa saja mengalahkan seribu yang mati."

 

Ibnu Mālik terperanjat. Kata-kata itu seperti tamparan lembut tapi dalam. Ia segera menyadari bahwa menyanjung karya sendiri sembari merendahkan karya orang yang telah wafat adalah bentuk ‘ujub yang halus namun berbahaya.


“Apakah engkau Ibnu Muʿṭī?” tanyanya.
“Benar,” jawab sosok itu.


Pagi harinya, Ibnu Mālik bangkit dengan hati yang luluh. Ia membuang bait yang sempat ia tulis, lalu menggantinya dengan dua bait yang menunjukkan tawadhu dan penghormatan:

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيلاً ¤ مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

"Beliau lebih utama karena lebih dahulu. Beliau berhak mendapat sanjungan indah dariku."

 

وَاَللّٰهُ يَقْضِي بِهِبَاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الْآخِرَهْ

"Semoga Allah melimpahkan karunia-Nya yang luas untukku dan untuk beliau di derajat akhirat." 


Ujub yang Tak Terasa, dan Tamparan dari Orang yang Telah Wafat

Seorang pemuda sedang menulis dengan serius di bawah cahaya lampu meja, sementara di belakangnya tampak bayangan dirinya dengan tulisan penuh rasa ujub seperti “Karyaku lebih bagus dari mereka” dan “Aku telah melampaui guru pendahuluku”, menggambarkan pergulatan batin seorang penuntut ilmu yang sedang diuji oleh sifat ujub.
Bayangan Ujub di Balik Pena Seorang Penuntut Ilmu

Ada pelajaran besar yang kerap terlewat dari kisah ini. Ibnu Mālik adalah seorang alim yang telah menorehkan karya agung. Kitabnya terus dipelajari lintas generasi. 


Namun bahkan di puncak prestasi itu, ia masih diuji oleh satu penyakit hati yang paling halus: ‘ujub — bangga terhadap diri sendiri.


‘Ujub berbeda dari takabbur. Ia tak selalu mencela orang lain secara terang-terangan. Ia tidak selalu berkata, “Aku lebih hebat darimu.” Tapi ia berbisik pelan dalam hati:

“Karyaku lebih bagus dari mereka.”
“Aku telah melampaui guru dan pendahuluku.”

“Merekalah yang salah atau kurang.”

 

Inilah penyakit halus yang bisa menjangkiti siapa saja — seorang ‘alim, da’i, bahkan penulis yang merasa karyanya telah disambut dan dihargai.


Kalimat yang Menampar dari Dunia Kubur

Bayangkan, Ibnu Mālik — ahli bahasa, pakar nadham, pelita ilmu — masih perlu ditegur. Bukan oleh manusia hidup. Tapi oleh ulama yang telah wafat, melalui mimpi, dengan kalimat yang menyentuh:

“الْحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ”

“Yang hidup bisa saja mengalahkan seribu yang mati.”

 

Kalimat ini terasa tajam namun dalam. Di satu sisi, ia benar: yang hidup punya peluang untuk melampaui. Tapi di sisi lain, ia menyindir:

Untuk apa berbangga mengalahkan yang telah tiada?

 

Yang wafat tak bisa membela diri. Ia tak bisa mengoreksi, tak bisa menjelaskan. Dan siapa tahu — seandainya ia masih hidup, mungkin dia jauh lebih unggul.


Ketika Kemenangan Tak Lagi Bermakna

Ilustrasi seorang pemuda duduk menunduk dengan ekspresi penuh penyesalan, menggambarkan pergulatan batin setelah menyadari penyakit hati berupa ‘ujub—bangga terhadap pencapaian diri yang halus namun menjerumuskan.
Penyesalan Seorang Pemuda: Ketika ‘Ujub Menjadi Cermin Diri


Ada saat ketika kemenangan tak lagi menjadi kehormatan. Yaitu ketika yang dikalahkan tak bisa melawan. Maka membanggakan diri atas mereka yang sudah wafat, sebenarnya adalah sebuah kekosongan nilai. Itu bukan kebesaran, tapi kelemahan yang diselimuti ego.


Di sinilah Ibnu Mālik menunjukkan keluhuran. Ia tidak keras kepala. Ia menundukkan diri. Ia mengganti bait-baitnya. Bahkan ia menyelipkan pujian dan doa bagi Ibnu Muʿṭī — sosok yang ia "ungguli" dalam dunia nadham.

Betapa indahnya adab para ulama terdahulu.

Mereka tidak hanya alim, tapi juga tahu diri.

 

Kita yang Masih Hidup, Untuk Apa Menyombongkan?

Hari ini, kita juga menulis. Kita membuat konten, menyampaikan tausiyah, menggubah tulisan. Tapi seberapa sering kita menyelipkan perasaan merasa lebih unggul?
Merasa dakwah kita lebih baik?
Tulisan kita lebih dalam?
Atau bahwa ulama terdahulu sudah tak relevan?


Padahal kita masih hidup. Kita masih bisa memperbaiki diri. Sementara mereka — yang kita bandingkan — telah kembali kepada Allah dan tak bisa menjawab tudingan atau pembandingan kita.

Maka, apakah pantas kita berbangga diri di atas mereka?

 

Ilmu Itu Cahaya, Tapi Adab Adalah Pelindungnya

Seorang pemuda tersenyum percaya diri di depan latar belakang arsitektur Islami, mencerminkan ketenangan hati setelah terbebas dari sifat ujub, dalam semangat keilmuan dan adab Islami.
Terbebas dari Ujub: Wajah Penerima Ilmu dengan Lapang Dada


Kisah ini mengajarkan satu pelajaran penting:

"Berilmu itu mulia, tapi beradab jauh lebih utama"

 

Adab adalah pakaian ilmu. Tanpa adab, ilmu bisa menjadi racun: memunculkan ‘ujub, riya’, bahkan keangkuhan yang dibungkus bahasa ilmiah.


Maka, sebesar apa pun karya yang ditulis, sepopuler apa pun nama yang dikenal, secerdas apa pun isi yang disampaikan — semua itu bisa runtuh di mata Allah, jika diiringi kebanggaan batin yang tersembunyi.


Jangan Bangga Mengalahkan yang Telah Pergi

Jika suatu saat kita merasa telah berhasil, merasa sudah hebat, atau mulai membanding-bandingkan diri dengan orang lain — ingatlah kalimat itu baik-baik:

“الْحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ” 

Tapi jangan sampai kita bangga mengalahkan orang yang bahkan tak bisa lagi bicara, apalagi membela diri.

Sebab, boleh jadi…

Andai mereka masih hidup, kita tak akan mampu menyaingi mereka.


* Jika tulisan ini bermanfaat, jangan ragu untuk membagikan ke teman-temanmu, ya! Dan tinggalkan komentarmu dibawah, karena satu komentar darimu bisa jadi penyemangat kami untuk terus menulis artikel bermanfaat lainnya.


Posting Komentar

0 Komentar